10. 30 AM
Setelah mengatar keluarganya di bandara dan mengatar Vania di asrama, kini Joanna hanya diam ketika mobil yang sedang dilajukan suaminya menembus kemacetan ibu kota.
"Semalam aku tidur dengan posisi sudah memelukmu. Maaf, aku tidak sadar."
Joanna mengangguk singkat. Karena itu memang bukan salahnya.
"Semalam badanmu berkeringat dan menggigil. Jadi aku berinisiatif memelukmu, aku tidak tahu kalau akhinya jadi berbalik kamu yang memelukku. Aku tidak masalah. Kita sudah sah menikah, mau bersentuhan seperti apa juga tidak akan menimbukan dosa. Tapi Jeffrey, lain kali, kalau sakit... aku harap kamu tidak perlu sungkan mengatakan itu padaku. Kita menikah karena simbiosis mutualisme, kan? Aku mendapatkan uang darimu dan kamu mendapat perhatian, ah bukan. Apa ya penyebutannya, pokoknya jaminan kesehatan makanan dan ya... anggap saja aku temanmu kalau kau tidak keberatan. Meskipun tidak bisa menawarkan solusi, setidaknya aku bisa menjaga rahasia dan menjadi pendengar yang baik."
Jeffrey menoleh pada Joanna. Wajahnya memang tidak terlihat bercanda, membuat Jeffrey samakin tenang dan merasa Joanna adalah orangnya. Orang yang tepat menjadi teman tidurnya.
"Kamu juga, lain kali kalau ada masalah jangan sungkan untuk meminta bantuan. Ngomong-ngomong, kamu mau makan apa?"
Joanna berpikir sejenak dan pilihannya jatuh pada restoran sushi yang teletak tidak terlalu jauh di depan mereka.
"Kenapa makanmu sedikit sekali? Kita belum makan apa-apa sejak tadi."
Tegur Joanna pada Jeffrey. Karena laki-laki itu hanya menyentuh sedikit hidangan yang telah tersaji.
"Rasanya tidak enak? Atau perutmu sakit? Setelah ini kita ke rumah sakit, ya?"
Jeffrey menggeleng pelan dan langsung memasukkan beberpaa pogong sushi yang tersisa ke dalam mulutnya.
Setelah acara makan mereka usai, Joanna dan Jeffrey bergegas menuju ruang Jessica. Karena wanita paruh baya itu tidak berhenti meminta mereka untuk segera pulang.
***
"Nanti jangan bilang Nenek dan Mama kalau aku muntah, ya?"
Joanna mengangguk singkat, kalau dia menjadi suaminya, dia pasti akan malakukan hal yang sama. Menyembunyikan sakitnya agar orang lain tidak khawatir terhadap dirinya.
"Kamu pasti masuk angin, setelah ini mau kupijat atau kerokan?"
Jeffrey mengangguk singkat, karena leher bagian belakangnya terasa sangat pegal. Padahal, dia tidak sedang melakukan pekerjaan berat.
"Akhinya pulang juga pengantin baru kita. Jeffrey, bagaimana? Berubah pikiran? Mau Mama pesankan tiket bulan madu untuk satu minggu ke depan?"