Setelah dari kantor suaminya, Joanna bergegas menuju mall terdekat karena dia sudah ditunggu oleh Tamara yang memang masih dalam masa cuti kerja."Jadi, enam bulan menikah masih perawan?"
Joanna tertawa hambar, karena Tamara memang suka blak-blakan ketika berbicara.
"Jangan-jangan si Jeffrey gay?"
Tuduh Tamara sembari melihat-lihat gaun tidur yang saat ini tergantung cantik di depan mereka.
"Bukan, mungkin dia takut. Karena setiap malam aku pasti merasakan ada batu di punggungku. Hahahha."
Tamara ikut tertawa. Ya, sebenarnya mereka sebelas dua belas. Pendiam adalah label mereka ketika di kantor. Tetapi kalau di luar kantor. Wah, jangan ditanya. Sekali berbicara, pasti akan sulit dihentikan.
"Tapi serius, dia tidak pernah dekat dengan perempuan sebelumnya? Orang yang pernah dia suka, tidak ada?"
"Tidak pernah. Dia tidak memiliki akses untuk mengenal perempuan selain tutor atau rekan kerja. Karena sejak kecil dia sudah dituntut belajar bisnis oleh mendiang Ayahnya. Apalagi home schooling juga. Tambah kuper, dia."
"Tapi seru, sih! Nanti bisa kamu bodoh-bodohi. Goda saja terus, peras uangnya lalu tinggalkan kalau sudah bosan."
Plukkk...
Joanna melemparkan bra sport pada wajah Tamara, hingga membuat pramuniaga yang mengawasi mereka dari kejauhan mulai terbahak.
"Peras-peras! Kamu kira dia sapi perah! Tidak akan kutinggalkan, lah! Dia baik dan tampan, siapa yang tega membuang dia? Hahaha"
"Heh, serius, Jo! Kamu ini jangan terlalu polos jadi anak! Jeffrey itu old money! Dia kaya dari lahir! Tidak mungkin dia sesempurna itu! Aku yakin, diam-diam dia pasti memilki lubang. Entah itu punya wanita simpanan, suka mabuk-mabukan, kasar, pecandu narkoba, atau bahkan bisa saja selama ini dia korupsi dan menggelapkan pajak! Kali ini kamu harus mendengarkanku, Jo! Jangan sampai kamu terlalu percaya dengan suamimu seperti aku di masa lalu. Terlalu menganggap Tian sempurna sampai-sampai aku tidak tahu kalau selama ini dia punya simpanan yang saat ini sedang hamil tua! Semua laki-laki itu bajingan!"
Joanna diam sejenak dan mulai mencerna ucapan Tamara. Benar juga, kita memang tidak seharusnya percaya seratus persen pada orang lain termasuk suami kita.
Joanna awalnya menganggap Jeffrey itu laki-laki baik dan haus kasih sayang karena sejak kecil dia harus dipaksa belajar lebih cepat. Itu sebabnya dia bisa semanja sekarang. Apalagi kalau sudah di kamar dan berdua saja. Duh, Joanna sampai kesal terkadang.
Pernah, dua bulan lalu Joanna hampir mengompol di ranjang karena Jeffrey tidak mau melepas pelukan. Takut suara petir katanya. Padahal Joanna tahu itu hanya akal-akalannya saja karena dia keenakan. Iya, apalagi kalau bukan karena paku tubuhnya menegang dan ditempelkan pada bagian tengah tubuhnya. Dasar laki-laki lemah!
"Benar juga. Tamara, serius aku harus beli lingerie juga? Aku rasa hanya butuh bikini saja, untuk berjemur di sana. Aku sudah request pantai soalnya."
"Perlu lah! Apalagi katamu dia masih dalam fase-fase puber! Mana, aku pilihkan! Warna merah dan hitam! Dua warna itu selalu bisa membuat laki-laki tergoda!"
Joanna sebenarnya ragu. Karena bentuk lingerie itu benar-benar tembus pandang dan pasti banyak renda yang akan membuatnya kegelian. Serius, Joanna lebih memilih telanjang saja sekalian daripada harus memakai lingerie yang konon katanya bisa digunakan sebagai alat untuk menciptakan keharmonisan rumah tangga.
"Beli dua saja. Jangan banyak-banyak, aku tidak terlalu suka bentuknya."
Tamara mengangguk singkat, tetapi tangannya mulai memasukkan lima buah lingerie ke dalam keranjang.