Pintu rumah besar milik keluarga Abraham telah terbuka lebar. Kali ini rasanya berbeda sekali, seolah Prilly baru datang kemari untuk pertama kalinya. Ia menuntun Aurora, gadis kecilnya terlihat sangat cantik dengan gaun merah muda serta bandana yang menghias rambutnya.
Prilly tersenyum, ia senang ayah dan ibu mertuanya menyambut dirinya dengan baik. Terutama keantusiasan mereka akan kehadiran Aurora.
"Ya Tuhan, cucu oma..." Iriana memeluk Aurora, menciumi wajahnya sampai tak tersisa di setiap sudutnya. Namun yang membuat Prilly merasa tidak nyaman adalah.. di sini juga ada mereka, ibu dan anak yang kehadirannya bagai benalu di dalam kehidupan Prilly.
"Apa kabar, bun, yah?" tanya Prilly sambil mencium tangan Iriana dan Abraham bergantian. Kemudian mereka semua duduk di ruang keluarga.
"Alhamdulillah kita baik. Prilly sendiri gimana, nak?" jawab Iriana mewakili suaminya juga.
"Iya, gimana kabarmu, Pril?" sambung Abraham.
"Kayak yang ayah sama bunda lihat, Prilly baik juga." perempuan itu tersenyum kecil.
"Sekarang kamu hebat ya, Pril, ayah bangga. Semoga kamu selalu bahagia. Maaf kalau selama ini ayah bunda sudah merepotkan dan menyusahkan kamu, karena kita berdua kamu dan Ali jauh." ucap Abraham.
Prilly tersenyum kecil, "Harusnya Prilly yang minta maaf sama ayah dan bunda karena dulu Prilly belum seperti sekarang, dulu Prilly belum punya apapun untuk bantu bebasin ayah bunda dari sanderaan mafia nggak berperasaan kayak mereka." Prilly menatap Rere dengan tatapan menusuk.
"Pril, Ali sudah cerita belum soal kenapa Rere dan Diana bisa ada sama kita?" tanya Iriana.
Ada jeda sejenak, Prilly menatap Ali sesaat. "Udah. Dan itu nggak seharusnya terjadi kan, bun?"
"Iya, tapi Pril keadaan memaksa kita."
"Memaksa gimana, bunda? Kenapa nyalahin keadaan sepenuhnya sedangkan kalian sendiri yang mengambil keputusan?" tanya Prilly dan mereka diam tak enak hati.
"Apa masalah itu terlalu besar? Sampai tujuh tahun pun belum selesai?" lanjut Prilly, dia terlihat berusaha menahan emosinya.
Ali tahu Prilly ingin meluapkan segalanya, ia tidak akan menghalangi perempuannya itu. Namun ia lupa jika di sini ada Aurora dan Diana yang tidak seharusnya terlibat, untuk itu Ali memotong pembicaraan Prilly.
"Sebentar, Pril.."
"Ra, Di, kalian main di kamar Kak Adira dulu gih. Di sana ada banyak mainan." kata Ali."Kak Adira itu siapa?" tanya Aurora dengan polosnya.
Ah, Ali lupa bahwa Aurora belum pernah bertemu Adira—puteri Abu dan Ajeng yang kini sudah beranjak remaja. Semua mainan semasa kecil Adira masih tersimpan rapi di kamarnya.
"Kak Adira itu anaknya Uncle Abu dan Aunty Ajeng, emangnya kamu belum pernah ketemu mereka? Di Sydney, setiap weekend aku, papa, mami, dan mereka sering jalan-jalan." penjelasan Diana justru membuat Aurora merasa kesal, ia merasa seolah Diana sangat beruntung bisa tahu segala hal tentang keluarga papa dan jauh lebih dekat dengan mereka semua.
"Aku nggak nanya!" seru Aurora sambil memutar bola matanya.
"Udah sana. Diana masih inget kan letak kamar Kak Adira? Ajak ya Aurora-nya, main sama-sama." pesan Ali.
"Siap, pa!"
Setelah kedua gadis itu pergi, Prilly tak kembali melanjutkan percakapannya. Mereka semua dim sampai akhirnya Iriana membuka suara.
"Keadaannya nggak akan bisa kamu bayangin, Prilly. Kita seperti tahanan, bahkan keluar dari mansion itupun kita dijaga ketat. Lalu gimana caranya kita melarikan diri? Baru setahun belakangan ini kita bisa menghirup udara bebas semenjak ayahnya Rere meninggal. Maafin bunda ya, Re.." jelas Iriana.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'll (Never) Love Again
FanfictionSetelah tragedi itu, Prilly berjanji bahwa ia tidak akan pernah mencintai Ali lagi. Tapi skenario Tuhan memaksa dirinya untuk terus mengingat masa lalu meskipun rasanya mustahil untuknya kembali lagi. ~ a fanfiction by Erika [24 Juli 2019]