Tahun berganti tahun, waktu sudah terlewatkan begitu saja. Meski terasa sekelibat tujuh tahun bukankah waktu yang singkat. Tidak mudah bagi Prilly untuk melupakannya begitu saja, tidak mudah baginya untuk menghadapi ini sendirian. Walaupun begitu Prilly berhasil melewatinya, kan? Ia berhasil merawat dan mendidik Aurora lebih dari yang ia kira.
Perempuan itu terlihat memasukkan laptopnya ke dalam tas beserta berkas-berkas yang belum sempat terselesaikan. Kemudian melepas kaca matanya seraya meletakkan ke tempatnya. Ia beranjak dari tempat duduk itu, meninggalkan cangkir berisi kopi yang masih tersisa.
"Saya duluan ya, mau jemput anak saya. Nanti kalau udah mau pulang, jangan lupa cek lagi, terutama kompor. Soalnya saya nggak mampir lagi." katanya, mengingatkan. Senyumnya yang lebar membuat siapapun tak bisa menebak bahwa sebenarnya ia rapuh di dalam.
"Siap, Bu!" jawab waitress yang tengah membersihkan meja.
Penampilannya memang sudah berbeda, jauh lebih dewasa. Namun Prilly tetaplah Prilly yang dulu, yang masih menunggu Ali-nya pulang, yang masih percaya bahwa Ali tidak akan pernah ingkar. Yang terpenting, Prilly yang setia menjaga hati. Setelah Ali pergi, sama sekali tak ada pria lain dalam hidupnya. Jelas, ada banyak pria yang mendekati Prilly, saling berlomba mencari perhatian demi mendapatkannya. Mereka menginginkan Prilly bukan karena Prilly seorang wanita karier pemilik restoran bintang lima saja, mereka justru orang berada. Mereka ingin mendapatkan Prilly karena jatuh hati.
Tapi Prilly tidak tertarik, justru ia menjauh. Ada perasaan yang harus ia jaga meski ia tak di sini. Dan bukan hanya karena ia masih status istri Ali, tapi juga karena perasaannya tidak pernah berubah untuk suaminya yang tak kunjung kembali itu.
***
Kaki mungil yang berbalut sepatu hitam itu mulai melangkah mendekat ke sosok perempuan di depan gerbang sekolahnya. Ia berlari, kemudian memeluk ibunya sambil menenggakan kepalanya untuk melihat wajah ibunya.
"Es krimmm!" ucapnya bersemangat.
"Es krim, apa?" tanya Prilly, pura-pura lupa.
"Ish, mama lupa ya? Tadi pagi janji mau beliin Aurora es krim kalau udah pulang sekolah.." rengeknya.
Melihat ekspresi puterinya yang menggemaskan membuat perempuan itu langsung berjongkok kemudian mencubit kedua pipinya. "Mana mungkin mama lupa, sayang..."
"Yaudah kalau gitu ayo, maa." Aurora menarik-narik tangan ibunya agar segera masuk ke dalam mobil, namun Prilly justru menuntun Aurora lalu membukakan pintu mobil untuknya.
"Silakan, Tuan Putri." ucap Prilly.
"Makasih, mama sayang." sahutnya, lagi-lagi membuat Prilly tersenyum.
Prilly dan Aurora segera meluncur ke minimarket untuk membeli es krim, setelah itu berencana pergi ke rumah Rima untuk menghabiskan waktu bersama ibunya itu sebelum pindah ke Yogyakarta.
Ya, Rima akan segera pindah meninggalkan ibukota setelah Peter lulus SMA. Tidak akan lama lagi, hanya tersisa kurang lebih dua bulan. Rima pindah ke tempat dimana ia menghabiskan masa kecilnya. Rumah yang ia tinggalkan sejak menikah karena kedua orang tuanya saat itu sudah tiada. Ia ingin menghabiskan masa tuanya di sini, jauh dari keramaian. Peter juga setuju ikut dengannya, ia juga akan kuliah di sana. Perihal rumah di sini, ia tak berniat menjualnya. Ada banyak cerita di sudut rumah ini bersama mendiang suami dan juga anak-anaknya.
Dan tentang Prisia, ia telah menikah. Dua tahun lalu ia telah dilamar oleh pria yang mencintainya dan tentu ia cintai, kemudian ia ikut ke Bandung dan tinggal di sana. Dia juga sudah memiliki anak laki-laki berumur satu tahun.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'll (Never) Love Again
Fiksi PenggemarSetelah tragedi itu, Prilly berjanji bahwa ia tidak akan pernah mencintai Ali lagi. Tapi skenario Tuhan memaksa dirinya untuk terus mengingat masa lalu meskipun rasanya mustahil untuknya kembali lagi. ~ a fanfiction by Erika [24 Juli 2019]