9. Bukan Akhir.

2K 243 88
                                    

Percaya tidak? Keyakinan Prilly akhirnya terbukti perlahan-lahan, doa yang terapal hampir tiap malam telah terkabul. Beberapa hari setelah kondisi Ali memburuk, ia dinyatakan hampir pulih sembilan puluh persen.  

Pria itu sudah mulai bisa berdiri sendiri, meski belum mampu berjalan tanpa dibantu tapi setidaknya berhasil membuat hati Prilly benar-benar terasa lega. Beban pikiran akan euthanasia sudah tidak terlalu ia cemaskan, dan ia tidak khawatir lagi karena yakin Ali akan sembuh seratus persen dalam waktu kurang dari tiga bulan sesuai perjanjian.

"Gue jamin dalam waktu kurang dari lima belas hari sisa waktu perjanjian, kondisi lo akan normal kayak semula. Jadi gue minta, lupain keinginan lo buat euthanasia, ya." kata Prilly sambil tersenyum.

Ali mengangguk, namun tidak terpancar raut bahagia di sana. Hanya ada senyum kecil dan singkat.

"Eh, harusnya lo seneng. Kenapa malah cemberut?" tanya Prilly, heran.

"Gapapa." jawabnya.

"Serius?"

"Aku takut nggak bisa bareng kamu lagi. Selesai fisioterapi nanti, aku udah bukan pasien kamu lagi. Jadi, nggak ada alasan aku buat ketemu kamu deh.."

Mendengar itu, Prilly jadi merasa sedikit khawatir. Bagaimana kalau semangatnya untuk sembuh jadi patah karena alasan bodoh itu? Ah, mengapa hal ini harus dibahas?

Prilly berjongkok di depan kursi roda Ali, "Lo temen gue sekarang. Iya, temen. Jadi kapanpun kita bisa ketemu."

Lo temen gue sekarang.

Iya, temen.

Sakit sekali mendengarnya.

"Gue tahu, pasti lo masih nggak bisa nerima status kita yang sekarang, kan?" tanya Prilly tapi tak berharap di jawab. "Tapi emang adanya begini, Li. Sekarang lo sama gue udah beda. Gue harap lo bisa ambil hikmah dari kejadian ini. Gue pun sama. Setelah gue pikir, dengan jadi Prilly yang lain bukan pilihan yang tepat. Dulu karena lo, gue jadi benci diri gue sendiri, gue rubah sikap gue. Hari ini, karena lo juga Prilly yang dulu akhirnya balik. Gue berhasil berdamai sama masa lalu, gue seneng bisa maafin lo, gue seneng lo baik-baik saja, dan gue akan seneng kalo kita bisa jalin pertemanan baik tanpa embel-embel 'mantan'." tutur Prilly.

"Iya, kalau boleh jujur, aku emang belum bisa nerima status kita yang sekarang. Mungkin bukan belum nerima, tapi belum siap. Aku belum siap kehilangan kamu, ini terlalu cepet." kata Ali.

"Lo pasti bisa lupain gue, gue pun sama."

Ali mengernyit. "Aku mau tanya sesuatu, boleh?" tanya Ali. Prilly mengangguk.

"Jujur, apa perasaan kamu udah bener-bener nggak ada buat aku?"

Retina mereka bertemu. Ali mencari jawaban, sedangkan Prilly gugup. Gadis itu mengalihkan pandangannya, menghindari kontak mata mantan tunangannya.

Nggak.

Nggak tahu.

Ya, Prilly tidak tahu. Sekarang pun ia tidak bisa memahami dirinya sendiri.

"Jawab jujur." pinta Ali sekali lagi.

Prilly menunduk. "Nggak.."

I'll (Never) Love AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang