3. Keputusan.

2.6K 259 12
                                    

Tiupan angin membuat rambutnya menari-nari. Bola matanya tahan tak berkedip, di sana bertumpuk sejuta luka yang akhirnya pecah menjadi tirta. Tak lama kemudian ia mendengar derap langkah kaki mulai mendekatinya, untuk itu ia cepat-cepat menghapus air matanya.

"Sayang, tadi kamu kemana? Tante nungguin kamu sampai setengah jam tapi nggak dateng-dateng." oceh Salma, tantenya yang baru datang dari Austria.

"Tante dimana emangnya? Tadi Prilly juga nungguin tante, terus Prilly kira tante udah duluan, handphone tante juga nggak aktif jadinya aku pulang." sahutnya menjelaskan.

"Handphone tante lowbat jadinya nggak bisa hubungin kamu. Yaudah gapapa..." katanya. "...tapi ngomong-ngomong kamu kenapa? Any problem?" lanjutnya.

"Gapapa, kok." Prilly tersenyum manis, sangat manis hanya agar lukanya tertutup rapat-rapat. "Tante Salma udah makan?" tanyanya untuk merubah arah pembicaraan.

"Mama kamu belum selesai masaknya, tadi tante mau bantu tapi malah di usir hehehe." jawab Salma.

"Iyalah, tante kan baru dateng, pasti capek." ujar gadis itu.

"Ngomong-ngomong anak gadis malem-malem ngapain ngelamun di balkon? Nanti kesambet loh!"

Prilly terkekeh pelan. "Gapapa kok, te. Cuma cari angin aja, gerah abisnya."

"Kan di kamar dingin ada AC, kenapa harus cari angin lagi di luar? Masuk angin nanti."

"Iya-iya deh aku masuk. Kalau tante udah dateng, pasti bawelin aku terus hehehe."

"Kapan lagi dibawelin sama tantenya, jarang-jarang ya, kan?"

"Iyaa..."

"Hahaha."

Mereka jalan beriringan, memutuskan untuk segera turun karena Rima sudah memanggil mereka. Di pertengahan jalan, ada ucapan Salma yang berhasil membuat Prilly menghentikan langkahnya seketika.

"Oh iya, Pril, tadi tante papasan sama mantan tunangan kamu di lobi bandara."

Prilly mati kutu. Entah apa saja yang mereka bicarakan, Prilly takut kalau Iriana memohon sesuatu kepada Salma. Karena semua orang tahu, Prilly tidak bisa menentang ucapan tantenya yang terkenal tegas itu.

"Pril?"

"H-hah? Ke-kenapa, te?"

"Kok ngelamun lagi?"

"Ngg-gapapa." jawabnya terbatah. "Terus... kalian ngobrol banyak?"

"Nggak, cuma seputar perkembangan Ali setelah bangun dari koma."

"O-ohh."

"Jadi, kalian udah benar-benar batal menikah?"

Prilly tersenyum miris. "Bukan cuma batal, kita mutusin untuk jadi orang asing!"

"Yakin kamu sama Ali yang mutusin? Bukan kamu aja yang ambil keputusan itu?" tanyanya mengintimidasi.

"Pengkhianatan itu Prilly anggap pernyataan langsung dari Ali kalau kita memang lebih cocok jadi orang asing."

Mengapa obrolan ini jadi mengarah ke jalan yang lebih serius lagi? Wajah Prilly pun jadi berubah, Salma bisa melihat itu. Ada kehancuran, duka dan luka yang sangat dalam, juga trauma.

I'll (Never) Love AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang