Siang ini Prilly ada meeting penting dengan orang yang akan menjadi investor di cabang restorannya yang baru. Biasanya Aurora akan meminta ikut, namun semenjak Bian datang ia tak pernah ingin diajak Prilly jika ingin bertemu klien-kliennya. Aurora senang punya teman baru. Tanpa sadar kehadiran Bian bukan hanya mengisi kekosongan Prilly saja, namun hampir menggantikan peran seorang ayah untuk Aurora. Padahal baru dua bulan Aurora mengenal Bian.
Sebelum berangkat, Prilly mampir ke rumah Bian untuk mengantar Aurora. Dan pria itu meminta izin ingin mengajak Aurora ke bandara untuk mengambil barangnya yang dikirim oleh orang tuanya karena tertinggal. Prilly mengiyakan selama Aurora selalu dalam pantauan Bian.
"Dah, maa.. hati-hati ya." kata Aurora ketika Prilly bersiap untuk menarik pedal gas mobilnya.
"Kamu juga. Titip Aurora ya, Bi."
"Siap, Bu bos!"
Selang lima menit Prilly pergi, mereka berdua juga bergegas menuju bandara. Bian menjanjikan Aurora jika ia akan mengajak gadis itu ke pergi mall seharian karena sudah mengantarnya ke bandara. Betapa senangnya Aurora, ia sangat antusias. Namun kejadian di bandara mendadak membuat semua rencana hari ini gagal.
"Kamu tunggu di sini gapapa ya, takutnya kalau ikut Om Bian kamu capek soalnya jauh di sana. Duduk di sini jangan kemana-mana, oke?"
"Oke, om. Jangan lama-lama ya, nanti aku diculik." kata gadis itu dan selalu membuat Bian tertawa.
"Nih pegang handphone Om Bian, main game biar nggak bosen." Bian memberikan ponselnya kepada Aurora. "Password-nya hafal, kan?"
"Iya."
Tiga puluh menit sudah berlalu, Aurora sudah merasa bosan bermain game di ponsel Bian. Ia mengehentikan permainannya dan menyimpan ponsel itu ke dalam tas kecilnya. Ia melamun sambil memperhatikan setiap orang yang berlalu-lalang, dagunya bertumpu di atas kursi yang berada di depannya.
Pandangan Aurora terkunci pada objek yang menurutnya sangat memprihatikan. Seorang gadis yang sedang kelelahan mendorong kursi roda ibunya, namun ibunya justru tertawa kecil dan memintanya untuk tidak memaksakan diri karena ia tahu puterinya itu tidak akan kuat.
"Istirahat dulu, biar nanti papa aja yang dorong." perempuan itu mengecup pipi puterinya.
Tak lama kemudian datang seorang pria ke hadapan mereka sambil menarik sebuah koper.
"Sebagian kopernya udah dibawain ke mobil." kata Pria itu.
Aurora memperhatikan pria itu sampai memicingkan matanya. Aurora kenal dia, pria itu tak asing. Pria yang ia pandangi potretnya setiap hari dan ia doakan agar pulang. Hanya saja rambutnya yang terlihat lebih panjang.
"Papa.." ucap Aurora pelan. Ia memandangi mereka yang mulai beranjak pergi, pria yang ia duga ayahnya itu menggendong gadis itu sambil mendorong kursi roda dengan tangan kanannya.
Aurora melamun meratapi kepergian mereka sampai-sampai panggilan Bian tak ia dengar.
"Ra.."
"Aurora.."
"Hey, Ra.." untuk yang ketiga kalinya gadis itu baru tersadar dari lamunannya.
"Kamu kenapa? Lihatin siapa?" tanya Bian. Aurora menjawabnya dengan menggelengkan kepala.
"Ayo, katanya mau ke mall."
"Nggak jadi deh, om. Aku mau pulang aja." pintanya.
"Loh, kenapa? Di rumah kan nggak ada siapa-siapa, mama kamu pulangnya nanti sore." ujar Bian.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'll (Never) Love Again
FanfictionSetelah tragedi itu, Prilly berjanji bahwa ia tidak akan pernah mencintai Ali lagi. Tapi skenario Tuhan memaksa dirinya untuk terus mengingat masa lalu meskipun rasanya mustahil untuknya kembali lagi. ~ a fanfiction by Erika [24 Juli 2019]