Saat terbangun dari tidurnya, Prilly segera melirik ke arah jam di dinding yang telah menunjukkan pukul setengah dua belas siang. Spontan ia langsung mengucap sumpah serapah yang ditujukkan untuk dirinya sendiri.
"Duh, Pril kebo banget sih!" dumelnya. "Pasti mereka belum makan." Prilly segera beranjak ke lantai bawah, mencari keberadaan Ali dan puteri mereka. Namun, Prilly tidak mendapatkan seorangpun di sana. Hanya ada kotak bekas pizza yang masih tersisa dua potong. Lalu ia segera pergi ke kamar Aurora dan mendapatkan gadis itu sedang tertidur pulas. Sendiri.
Dimana Ali? Dia tidak terlihat di rumah ini.
Prilly kembali ke kamarnya, meraih ponselnya dan di papan notifikasi tertera pesan masuk dari nomor tidak di kenal.
+62 8385792***
Pril, ini aku Ali. Aku pulang dulu ya, thanks for last night. Oh iya, aku gak buka hp kamu sama sekali, aku tau nomor kamu karena masih hapal..Jemarinya tergerak untuk mengetik balasan, namun ketika selesai ia justru malah menghapusnya dan tidak mengirim balasan apapun.
***
Kehadiran Bian tentu bagai obat dalam kehidupannya. Yang menyembuhkan luka dan duka saat ketiadaan Ali sebelum kembali. Mungkin, sejak saat itu Prilly mulai merasa begitu nyaman dan tidak merasa kesepian lagi, merasa bahwa masih ada laki-laki yang mengerti dirinya dan mengutamakannya juga Aurora daripada yang lain. Bian telah membuat perasaan Prilly hidup lagi.
Bukan pelarian, Prilly benar-benar merasa bahagia ketika bersama Bian. Hanya saja, pertemuannya dengan Erisca tadi siang membuka pikirannya lagi.
Seolah Tuhan mengirimkan mesin waktu berwujud sahabat yang sukarela menceritakan kembali kisah Ali dan Prilly yang dulu. Mengingatkan betapa berat perjuangan mereka untuk sama-sama setelah diterjang badai yang begitu besar. Erisca menyarankan agar Prilly berbicara empat mata dengan Ali, bicara baik-baik dan coba mencari solusi bersama-sama. Dan pada akhirnya Prilly setuju, Prilly mau.
"Pril, gue tau lo hebat. Lo bisa maafin kesalahan Ali di masa lalu karena dia memang salah, tapi kali ini gue tau Ali nggak salah. Dia dipaksa sama keadaan, dia bingung, gue lihat itu di mata dia. Coba, kali ini aja, kalian ketemu, obrolin semuanya baik-baik, cari solusi, kalau dirasa udah nggak ada jalan keluar juga, terserah kalian mau gimana. Gue cuma nggak mau lihat sahabat gue hancur karena benalu yang sama. Inget, hubungan yang pernah berhasil melewati hujan badai nggak akan terusik sama gerimis."
Hubungan yang pernah berhasil melewati hujan badai tidak akan terusik oleh gerimis.
Begitu kata-kata Erisca yang berhasil memantapkan hati Prilly untuk bertemu Ali dan membicarakan semuanya baik-baik sekali lagi. Sore ini, Prilly meminta Ali datang ke rumah.
Tak mau terlihat canggung, Prilly tidak menyambut Ali seperti seorang tamu dengan tidak menjamunya berlebihan. Prilly hanya membuat teh dan kopi yang biasa Ali minum dulu. Ternyata di luar hujan, ketika mendengar suara mesin mobil, Prilly segera mengambil payung lalu segera keluar dan menghampiri mobil Ali seraya berbagi tempat di bawah payung itu sampai ke depan rumahnya.
Mau bagaimanapun Prilly dan Ali bersikap, kecanggungan itu masih tetap terasa. Berbeda. Tak nyaman. Tapi rindu.
Mereka duduk di ruang keluarga, televisi dibiarkan menyala dengan volume kecil. Dan pria itu menatap ke sekeliling, mencari keberadaan puterinya.
"Aurora dimana, Pril?" tanya Ali.
"Tidur." jawab Prilly seadanya.
"Ohh."
KAMU SEDANG MEMBACA
I'll (Never) Love Again
FanfictionSetelah tragedi itu, Prilly berjanji bahwa ia tidak akan pernah mencintai Ali lagi. Tapi skenario Tuhan memaksa dirinya untuk terus mengingat masa lalu meskipun rasanya mustahil untuknya kembali lagi. ~ a fanfiction by Erika [24 Juli 2019]