Tok-tok-tok-tok-tok!
"Prilly! Buka pintunya, Pril."
Tok-tok-tok-tok-tok!
Perempuan itu berhasil mengunci pintu rumahnya sebelum Ali datang dan ia memerintahkan Aurora agar pergi ke kamarnya. Gadis itu menurut meskipun ia sebenarnya bingung dan takut. Diam-diam, Auora juga menangis di kamarnya.
"Pril dengerin aku dulu, aku janji aku akan jelasin yang sebenarnya ke kamu. Semuanya."
"Kamu terlalu banyak janji, Li hiks hiks. Tapi apa janji-janji itu kamu pegang? Nggak, kan?!"
"Pril-"
"Apa selama ini yang aku lakuin buat kamu kurang? Aku percaya kamu bilang kamu akan pulang hiks hiks, aku percaya kalau kamu bisa selesaiin semua masalah, aku selalu nunggu kamu, aku selalu jalanin kewajiban aku walaupun kamu nggak ada di sini hiks hiks. Aku urus perusahaan kamu juga, belum lagi harus bohong ke Aurora dengan bilang kamu kerja di luar negeri!"
"Ya aku minta maaf, aku juga nggak mau kayak gini. Aku nggak bermaksud merusak kepercayaan kamu dan Aurora." dan, Prilly mendengar suara pria itu bergetar.
"Selama ini aku selalu bertanya-tanya, apa Ali baik-baik aja? Apa Ali kesulitan? Tapi aku salah, ternyata kamu bahagia, kan? Kalau gitu, kenapa kamu pulang? Lebih baik aku nunggu kamu sampai aku lupa dan nggak berharap kamu kembali lagi daripada kamu pulang tapi--"
"Prilly! Dengerin penjelasan aku dulu makanya, Pril."
"Lebih baik kamu pergi!" Prilly pergi meninggalkan ruang tamu, masuk ke dalam kamar dan segera membersihkan diri. Mungkin dengan mandi akan membuat pikiran dan perasaannya jauh lebih tenang dan lega.
Tapi ia salah, kesedihan itu tidak hilang juga. Rasa sakit itu sangat melukainya. Rongga dada nya terasa sesak dan tenggorokannya begitu sakit. Prilly berharap ini hanya sebuah mimpi buruk.
"Mamaa." panggilan Aurora sangat mengejutkannya, Prilly buru-buru menghapus air matanya agar puterinya tidak bertanya macam-macam.
Tak lama pintu kamarnya terbuka, memperlihatkan sosok gadis kecil dengan wajah polosnya sambil memeluk boneka kesayangan. Ia duduk di sebelah Prilly, di tepi ranjang.
"Mama marah ya sama papa?" tanyanya. Bukannya menjawab, Prilly justru malah memeluk Aurora dari samping dengan satu tangannya.
"Aurora marah sama mama?" Prilly melempar pertanyaan yang sama kepada Aurora.
Gadis itu menatap Prilly. "Marah sedikit sih." jawabnya, membuat ibunya jadi tertawa kecil.
"Maaf ya mama bohong, itu semua juga demi kebaikan."
"Kebaikan apa? Papa malah direbut Diana." sahutnya sambil memasang wajah cemberut.
"Anak mama nggak boleh manyun, nanti kelihatan jelek." Prilly mencubit pipi Auora.
"Mama juga nggak boleh nangis, nanti kelihatan jelek!" balasnya.
"Siap, bos!"
***
Prilly bergegas pergi ke restoran setelah mengantar Aurora ke sekolah, ia terlihat baik seperti hari-hari sebelumnya. Seolah kesedihan kemarin sudah selesai begitu saja.
Ya, semalam Prilly berjanji kepada dirinya jika kesedihannya akan selesai malam itu juga. Meski masih terasa begitu sesak namun ia simpan sendirian. Sosok Prilly yang dikecewakan kembali lagi, namun kali ini Prilly tak berubah menjadi orang asing yang jarang tersenyum seperti saat pertama kali Ali mengkhianatinya. Kini ia sudah dewasa dan bisa mengontrol dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'll (Never) Love Again
FanfictionSetelah tragedi itu, Prilly berjanji bahwa ia tidak akan pernah mencintai Ali lagi. Tapi skenario Tuhan memaksa dirinya untuk terus mengingat masa lalu meskipun rasanya mustahil untuknya kembali lagi. ~ a fanfiction by Erika [24 Juli 2019]