Ali melingkarkan tangannya di pinggang mantan tunangan yang sebentar lagi akan menjadi calon istrinya itu. Berjalan di lorong menuju tempat favorit Ali. Dan tentu, tempat favorit Prilly juga.
Di sini, di balkon rumah Ali yang mana memiliki pemandangan indah kota Jakarta saat malam hari, Ali mengecup kening Prilly dengan lembut. Kemudian tangannya menjepit rambut Prilly ke belakang telinga gadis itu.
"Oh iya, Li, aku pengen tunjukkin sesuatu ke kamu." kata Prilly.
"Apa?"
Prilly tersenyum, mengangkat tangan kirinya kemudian menujukkan sebuah benda yang hampir Ali lupakan.
"Kamu.. masih nyimpen? Bukannya.."
"Cincin ini yang balik sendiri ke aku hari itu. Pas kamu ke tabrak.."
Ada jeda sejenak. "M-maaf aku nggak bermaksud ungkit masalah itu."
Pria itu tertawa kecil, lalu mencubit pipi Prilly sambil berkata, "Gapapa. Makasih ya udah simpen cincinnya."
Prilly mengangguk kemudian berhambur memeluk Ali yang juga membalas pelukan itu jauh lebih erat.
*
*
*
*
*
*
Kedua pasang kaki berbalut sepatu kulit itu melangkah turun sampai pada anak tangga terakhir. Suara peralatan dapur yang saling beradu membuat senyum di sudut bibirnya terbit, setiap hari.
Hampir setahun, ya, hampir setahun mereka berhasil membangun keluarga ini. Tidak terasa, bukan? Semua terlewati dengan begitu cepat. Bahkan mereka akan segera menanti si kecil yang sekarang sudah memasuki bulan ke tujuh.
Setelah Ali dan Prilly menikah, Abraham dan Iriana mendadak pindah ke luar negeri menyusul Abu. Ali bilang, mereka ingin lebih fokus mengurus bisnis di sana dan mungkin tidak akan kembali lagi ke Indonesia. Meski rumah besarnya kosong, Prilly tak setuju mereka tinggal di sana. Ia tidak suka rumah yang terlalu besar sedangkan mereka hanya tinggal berdua. Untuk itu mereka membeli rumah minimalis yang letaknya tak jauh dari rumah besar Ali.
"Pagiiii!" sapa Ali. Sebelum ia duduk di kursinya, seperti biasa ia akan mengecup pipi Prilly terlebih dahulu.
"Pagi.." sahutnya. Setelah memindahkan lauk matang ke piring, Prilly langsung meletakkannya ke meja makan.
"Jadi pulang cepet hari ini?" tanya perempuan itu:
"Jadi dongg!" jawab Ali dengan sangat antusias.
Prilly tersenyum sambil menuangkan nasi ke dalam piringnya. "Akhirnya yaa Erisca nyusul kita juga. Semoga suaminya baik dan selalu loyal."
Loyal. Mendengar kata itu Ali tersenyum kecil.
"Jangan terlalu sore juga ya, takut telat. Kan waktu acaranya dari jam lima sampe jam tujuh." kata Prilly.
"Siap, bos!"
***
Jarum jam telah menunjukkan pukul lima lewat sepuluh menit, namun yang ditunggu tak kunjung datang. Prilly sudah bosan menunggu suaminya itu, padahal ia sudah rapi sejak pukul empat hanya agar Ali tidak terlalu lama menunggunya berdandan.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'll (Never) Love Again
FanfictionSetelah tragedi itu, Prilly berjanji bahwa ia tidak akan pernah mencintai Ali lagi. Tapi skenario Tuhan memaksa dirinya untuk terus mengingat masa lalu meskipun rasanya mustahil untuknya kembali lagi. ~ a fanfiction by Erika [24 Juli 2019]