32. Throw

46 14 3
                                    

"Singkatnya, perang sudah dimulai."

Kalimat itu terus terngiang di benak Irene. Ia bersama Luiz dan Charon berjalan menyusuri bagian lorong yang temaram oleh cahaya obor di setiap dinding. Eris yang sejatinya merupakan keturunan leluhur vampir berdarah murni, tetap mengikuti langkah mereka. Dan juga, seorang tak di kenal yang datang bersama Eris di tempat tersebut.

Dua manusia vampir, berjalan agak jauh tertinggal di belakang mereka. Perilaku mereka berdua seakan sedang menjaga jarak dari kedua pelajar dan satu iblis yang menemaninya. Meskipun begitu, keberadaan mereka bukanlah suatu ancaman tersendiri.

Pria yang berjalan di sisi Eris terlihat begitu kesal. "Hei, kamu jangan bercanda! Ti-tidak mungkin kan dirimu berada di pihak musuh?" tanyanya lirih.

Eris menangkap keberadaannya menggunakan ekor mata. Ia melirik tajam tanpa ekspresi. "Maafkan aku, Dione. Terserah kamu mau menganggapku penghianat atau apapun. Tapi, satu hal yang perlu kamu ingat, mereka bukanlah musuh."

"Bagaimana bisa? Kamu lihat sendiri kan, dia itu iblis, dan di sekitarnya terdapat murid Scolamaginer. Mengapa kamu bisa membeberkan semuanya pada mereka?" bantah Dione, vampir yang di dalam tubuhnya mengalir darah bangsawan murni. Mata darahnya menyorot padam ke arah wajah Eris. Rambut coklat kemerahan menjadi penghias di kepalanya. Rupa tampan yang dimilikinya sedikit memberi kesan misteri.

Eris mengambil nafas panjang. "Kamu ingin membantah? Hei, aku bisa mencabut gelar bangsawan darimu kapan saja. Pikirkan matang-matang sebelum kamu mengucapkan sesuatu di hadapanku!" gertaknya, membuat pria tersebut menutup mulut. Terdiam dan langsung memalingkan pandangan darinya.

"Entah apa yang dipikirkan para leluhur lainnya jika mengetahui sikapmu ini, Eris. Aku tak ingin ikut campur," gumam Dione.

Namun, lelaki yang dilontarkan perkataan tersebut, malah menampakkan senyum merendahkan. Eris menatap malas ke arah lawan bicaranya. "Dasar bodoh. Dengan kehadiranmu disini, itu sudah mengartikan bahwa keadaanmu sangat mencampuri urusanku. Mau tak mau, kamu juga harus merasakan akibat dari perbuatanku."

Dione mendesah kesal. Ia merasa ingin mencabik orang yang benar telah membuatnya naik darah. Tetapi, sekuat apapun dirinya tak akan mampu menumbangkannya. "Sebenarnya, apa tujuanmu sih?" lirihnya, yang akhirnya mengalah.

Kini, giliran Eris yang memalingkan pandangan. Ia menatap jauh ke depan. Dimana ketiga orang yang sama-sama berpakaian gelap sudah berada jauh dari jangkauan mereka berdua. "Aku hanya berpikir, bahwa inilah yang terbaik."

"Cakupannya terlalu luas. Baik bagi siapa? Dirimu sendiri?!" balas Dione ketus. Ia merasa telah dipermainkan oleh seseorang yang telah membuatnya terjebak di dalam labirin tanah ini.

Eris berpaling. Dia mempercepat langkahnya, meninggalkan Dione yang masih diliputi berbagai pertanyaan yang membingungkan. Sikapnya benar-benar dingin tak acuh.

"Hei, aku bertanya padamu lho!" tagih Dione yang merasa terabaikan.

Eris menghentikan langkahnya. Namun, pandangannya sama sekali tak menoleh ke arah sang pemilik suara yang menagih jawaban kepadanya. "Entahlah," balasnya singkat.

Jawaban seperti itu semakin membuat Dione geram. Ia menatap punggung pria yang sudah berjalan mendahuluinya dengan sorot kebencian yang kuat. Giginya saling beradu, menahan umpatan yang kapan saja siap terlontar dari mulutnya. Tangannya mengepal, seakan sudah mampu membuat retak pada dinding jika ia tak menahan diri untuk meredam tinjunya.

"Terserahlah," pungkasnya yang ujung-ujungnya tetap harus mengalah. Sedikit demi sedikit, kabut kebencian yang tadi sempat menyelimuti seluruh perasaannya mulai menguap. Ia menetralkan kembali tenaga yang sejak tadi sudah disiapkan untuk menghajar seseorang yang ia anggap sebagai bajingan tersebut. Dan mengembalikan akal sehat ke tempat seharusnya.

The Demonic Paradise ✔  [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang