16. Else

77 28 0
                                    

Eris menghindari benda tajam yang diarahkan padanya. Namun, belati tersebut tetap menggores salah satu bagian tubuhnya. Walau tidak tepat sasaran. Apa-apaan gadis ini? Semua pergerakannya sangat akurat dan penuh perhitungan.

Rhea memaparkan senyum sadis yang tampak menikmati bila lawannya terluka. Ini menyenangkan.

"Ka-kalian, kumohon hentikan." Irene yang berada di sudut ruangan terlihat begitu gelisah. Pandangannya tak lepas menatap dua orang yang saling beradu.

Namun, lagi-lagi Rhea tak menghiraukan. Segera, ia melesat ke arah pria yang berada di seberang. Saat jarak semakin menyempit, Rhea melemparkan belatinya dengan mata tajam yang mengarah ke wajah Eris.

Dengan begini, seharusnya konsentrasi dia akan terpecah. Perhitungannya benar. Ia melihat pria tersebut menghindari mata belati yang mengarah tepat ke wajahnya. Dengan segera, Rhea menyambar tubuh lelaki yang benar-benar berada di hadapannya.

Tangannya bergerak, menyentuh dada Eris. Seketika, tubuh pria tersebut menjadi kaku bagai semen. Matanya terbelalak, tak percaya apa yang terjadi pada dirinya.

"Ada kata-kata terakhir?" Sudut bibir Rhea terangkat, membentuk senyum mengerikan.

Eris hanya terdiam. Pendar matanya menyorot tajam ke arah gadis berambut hitam tersebut.

Benda tipis dan tajam yang Rhea masukkan kedalam tubuh pria tersebut bersamaan saat ia menyentuh dadanya terasa sangat dingin, dan sedikit merenggang. "Kalau tidak ada, biarkan aku bertanya. Kenapa kamu tidak melawan? Padahal ku yakin kamu pasti mampu kalau kamu mau. Tapi, kenapa kamu hanya memilih menghindar?"

Eris memandang dingin ke arah Rhea. "Lepaskan benda ini dari tubuhku terlebih dahulu."

"Cih, konyol." Rhea menarik tangannya menjauh dari tubuh pria tersebut. Eris menggigit bibir bawahnya sendiri, menahan sakit yang kian meradang dari dalam tubuhnya. Cairan kental berwarna merah, perlahan menetes keluar dari mulutnya.

"Rhea, tolong hentikan." Suara Irene terdengar. Gadis yang merasa namanya dipanggil itu, langsung menoleh ke arah Irene.

"Diamlah disitu. Biar ku bereskan dulu makhluk ini."

"Dia tidak berbahaya. Dia bukan musuh. Lagi pula, dia adalah orang yang dulu menyelamatkanku."

"Dengan kata lain, kamu juga yang telah menghisap darah Irene, ya?" Rhea memalingkan wajahnya, menatap tajam pria yang sedang merasa sangat kesakitan tersebut.

Eris tidak menjawab. Matanya menyorot tajam ke arah Rhea yang memandangnya sadis.

Rhea mendengus kesal. "Hah, baiklah ... baiklah. Sangat mengesalkan sekali, berhadapan dengan seseorang yang telah mengetahui ajal berada di depannya namun dia hanya bergeming."

Rhea menarik benda yang tadi ia masukkan dalam tubuh Eris. Benda yang sangat panjang tersebut, kini bergerak masuk ke dalam jubah hitam Rhea melalui bagian lengannya.

"Kamu temannya ya?" Lubang di tubuh pria tersebut perlahan kembali mengatup. Pandangannya masih menatap Rhea dingin.

"Iya," jawabnya.

"Oh, baguslah. Lindungi dia ya."

"Tanpa kamu minta, aku sudah melakukannya." Rhea mengarahkan pandangannya pada Irene yang menatapnya dari sudut ruangan. Menyunggingkan senyum simpul yang berkesan.

"Kalian baik-baik saja kan?" Irene menghampiri mereka berdua.

"Aku sih, iya. Kalau dia, entahlah. Omong-omong, aku harus memanggilmu siapa?" Rhea mengajukan pertanyaan pada pria berkulit pucat tersebut.

The Demonic Paradise ✔  [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang