37. Might

42 19 11
                                    

Gelap gulita, tak ada yang dapat dirasakan, keheningan total menyelimuti semua, hampa.

Apa yang sebenarnya terjadi? Disini begitu sunyi. Aku tak bisa melihat apapun, bahkan diriku sendiri. Aku tak bisa merasakan hadirnya jemariku. Tak bisa merasakan pijakan di kakiku. Aku tak bisa merasakan, adanya kehidupan. Tak ada getaran, tak ada denyut nadi, tak ada degup jantung. Aku bahkan tak dapat merasakan rasa sakit yang tadi kuemban.

Hampa, kelam, senyap. Apakah ini yang dinamakan, kematian?

Tiba-tiba, sebuah pusaran layaknya black hole muncul dari ruang kehampaan. Seolah-olah, dari situ muncul beberapa organ tubuh yang tidak tersusun dengan benar. Mulai dari jantung yang melayang, partikel darah yang tersebar, usus yang memanjang seperti ular, paru-paru, ginjal, empedu, pankreas, hati, dan lain-lain.

Perlahan, organ-organ tersebut mulai bergerak menempati tempat yang seharusnya. Disusul oleh munculnya tengkorak, serta rangka lainnya. Membuatnya menjadi sosok makhluk tanpa kulit yang membungkus raga.

Pusaran tersebut masih membelah kehampaan. Memunculkan lembar-lembar kulit yang begitu rapuh. Membalut raga yang sudah terbentuk. Membuatnya menjadi suatu individu yang utuh.

Pada akhirnya, dengan percikan glitch yang menutupi tubuh setengah jadi tersebut, memberikan sebuah ruang yang berbeda. Tak lagi gelap gulita dan hampa.

"Biru, sangat menenangkan." Setelah merasa sekian lama diliputi keheningan, ia mampu mendengar suara yang keluar dari mulutnya sendiri.

Hanya ada hamparan biru luas kemanapun ia memandang. Dari bagian bawah tempatnya berpijak, hingga angkasa yang tersusun di atasnya. Kecuali, sebuah gerbang besar yang terbuka lebar, dengan cahaya putih terang yang berada di baliknya. Seakan mampu menelannya kemudian membawa dirinya ke tempat antah berantah berikutnya.

"Wah, lihat! Siapa yang datang kali ini?" sapa sebuah suara mengejutkan dirinya. Sontak, ia memutar pandangan menatap ke arah si pemilik suara.

Matanya langsung membulat sempurna ketika mengetahui siapa yang sedang berada di dekatnya. "Thian?" lirihnya tak percaya.

Pria berambut pirang, dengan senyum simpul yang ramah tertuju padanya. "Aku tak pernah menyangka akan bertemu denganmu di tempat ini, Irene."

Ia semakin bingung, sekaligus senang bahwa ternyata dirinya dapat bertemu kembali dengan seseorang yang sangat disayanginya tersebut. "Sebenarnya, apa aku ini sudah mati ya?" gumamnya.

"Bisa dibilang begitu," jawab pria tersebut ringan. Ia menatap dalam ke wajah gadis yang sama memandangnya. "Tapi, kamu masih dapat kembali jika kamu menginginkannya."

"Curang. Kalau aku bisa tenang dengan berada disini, mengapa aku harus kembali ke dunia yang kejam itu?" tolaknya.

Pria itu terkejut dengan apa yang diucapkan wanita mungil yang berada di hadapannya. "Sungguh?"

"Ya."

"Tapi, kupikir kamu harus tetap kembali. Kau tahu? Tempat ini belum kayak untukmu," sergahnya.

"Memangnya kenapa?" Gadis yang baru saja tiba di tempat tersebut, semakin bingung dengan sikap yang ditunjukkan pria itu.

"Kamu terlalu cepat untuk datang kemari," balasnya.

"Dan kamu sendiri, datang jauh lebih cepat dariku." Tatapannya kembali mengembun. Sorotnya begitu sayu, dan menyedihkan. Kepedihan yang ditampakan, terasa begitu memukul. "Kamu tahu, Thian? Aku sudah lelah. Hidup terlalu sulit kumengerti. Jika mati lebih baik bagiku, kenapa kamu selalu saja menghalangi?" lanjutnya penuh penderitaan.

"Maaf." Pria tersebut mampu memahami apa yang dirasakan oleh gadis rapuh yang berdiri tenang di depannya.

"Akan lebih mudah bila semuanya berakhir dengan cepat 'kan?" lontar gadis tersebut, berusaha mengabaikan luka yang membekas.

The Demonic Paradise ✔  [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang