Seven

351 45 0
                                    

Tw // Violence

Langit sudah gelap saat mobil Taehyung berhasil keluar dari kawasan mall. Bulan maupun bintang-bintang sudah mulai nampak dilangit malam yang terlihat kelam tersebut. Suasana di dalam mobil mobil terbilang sunyi. Jeongguk yang sedang mengemudi hanya fokus ke jalan raya, sementara Taehyung masih sibuk membersihkan tangan hingga keselah-selah jarinya dengan tisu basah.

Permainan mereka bisa dibilang...well, hebat seperti biasanya. Walaupun Taehyung sempat mengucapkan kata 'sex', tapi sebenarnya mereka tidak benar-benar melakukan itu. Mereka sendiri juga sadar bahwa mereka masih di bawah umur atau istilahnya belum legal. Lagipula, keduanya juga tidak punya nafsu sebesar itu untuk melakukannya.

Hanya sebatas sentuhan-sentuhan yang dapat membuat keduanya puas.

Ini juga bukan kali pertama mereka melakukannya. Sudah cukup sering kalau diingat-ingat. Mengingat sifat keduanya yang mudah bosan, aktifitas seperti inilah yang kerap dijadikan pelarian oleh dua remaja itu. Saling menyentuh satu sama lain hingga puas dan lupa waktu.

Jeongguk masih tenggelam dalam euphorianya sendiri ketika ia sedang menyetir. Matanya terlihat kosong dan bibirnya yang terus memasang senyuman tipis. Tidak bisa dipungkiri, sore ini suasana hatinya terasa lebih baik jika dibandingkan dengan tadi pagi atau siang. Dan itu semua berkat kakak kelas kesayangan itu.

"Kak Tae." Panggil Jeongguk, kepalanya menoleh sekilas ke kursi penumpang di sebelahnya.

"Apa?." Taehyung melipat asal tisu kemudian membuangnya ke tempat sampah kecil yang tersedia dimobil.

Jeongguk masih tersenyum simpul. "Makasi, ya."

"Buat apa?."

"Mood gue jadi lebih baik."

Sebuah tawa lantas pecah. Taehyung menoleh ke samping, ikut melayangkan senyuman manisnya. "Iya, Ggukkie. Gue habisnya kesal banget kalau liat lo cemberut."

"Maaf."

"Hei, siapa yang suruh minta maaf?. Lo gak salah, oke."

Jeongguk hanya terkekeh menanggapinya. Apalagi ketika Taehyung beralih mengecup halus pipinya. Dirinya total dibuat melayang hanya dengan sebuah kecupan singkat. Dasar payah.

"Handphone lo getar, tuh, Gguk." Ucap Taehyung ketika mobil mereka berhenti sebentar akibat lampu merah.

Maka dengan cepat Jeongguk meraih ponselnya, melihat layar yang menyala dengan seksama. Perlahan raut wajahnya menegang, diiringi dengan tangan kanannya yang bergetar. Taehyung tentu saja menyadari itu. Dirinya sontak meraih ponsel Jeongguk dan melihatnya dengan penasaran.

Taehyung berdecak. "Berhenti dulu di minimarket depan."

Jeonggukpun hanya mengangguk singkat dan memutar stir mobilnya kearah minimarket dua puluh empat jam yang berada di persimpangan jalan. Setelah mobil itu berhenti, Jeongguk sontak menjatuhkan tangannya dari kemudi. Merasakan sekujur tubuhnya bergetar. Ia ketakutan.

"Ggukie, sayang." Taehyung dengan cepat meraih kedua tangan Jeongguk dan menggenggamnya. Ia ikut khawatir ketika merasakan bahwa kedua tangan Jeongguk bergetar hebat.

Jeongguk menatap Taehyung lamat. "Kak Taehyung... takut."

Taehyung mengumpat dalam hati. Ayah sialan. Semua rencananya akan berjalan lancer jika pria menjijikan itu tidak mengirimkan pesan yang membuat kekasihnya sungguh ketakutan. Baru saja mereka selesai bersenang-senang, kenapa semuanya berubah?. Sungguh tidak adil. Bahkan mereka hanya ingin merasa senang walau untuk sesaat.

"Gue disini. Pegang tangan gue, ya?. Biar gue yang nyetir."

Merekapun akhirnya berpindah posisi. Jeongguk yang tadinya duduk dikursi kemudi, kini sudah terduduk dikursi penumpang. Begitu pula dengan Taehyung yang sudah beralih duduk dikursi kemudi. Semenjak itu, Jeongguk sama sekali tidak mau melepaskan genggamannya barang hanya sedetik.

Digenggamnya tangan kiri Taehyung dengan erat. Di dalam hati, ia terus merapalkan doa agar ayahnya tidak menghajarnya lagi. Luka fisik yang dibuatnya memang sakit. Namun luka dihatinya terasa lebih sakit dan membekas. Maka Jeongguk tidak dapat berbuat apa-apa kali ini.

"Kak, pulang aja, ya?."

Taehyung menoleh sekilas dengan wajah terkejut. "Lo gila!?. Gue gak mau lo dihajar lagi, Gguk."

"Tapi kalau gue gak pulang hari ini, terus kapan?. Mau gue pulang hari ini atau besok, papa tetap akan pukulin gue."

Hati Taehyung sontak berdenyut sakit. Perasaannya mencelos begitu saja. Miris sekali ketika mendengarkan perkataan Jeongguk barusan. Ditambah dengan fakta bahwa kata-kata itu memang benar adanya. Mau kapanpun Jeongguk pulang kerumah, sang ayah akan tetap menyakitinya. Dan Taehyung sungguh tidak tega saat melihat sosok seperti Jeongguk diperlakukan seperti itu.

"O-oke." Taehyung berakhir mengeratkan genggamannya.

━━━•❅•°•❈•°•❅•━━━

Kaki Jeongguk melangkah dipekarangan rumahnya yang sudah terbengkalai. Tanaman liar tumbuh dengan bebas dimana-mana. Tidak ada lagi yang mampu merawat taman yang dahulu begitu indah hingga Jeongguk betah bermain disana dalam waktu yang lama. Namun kini ia bahkan enggan untuk menapakkan kakinya disana.

Dibukanya pintu kayu tua itu. Suara denyitan terdengar jelas ketika Jeongguk mendorongnya. Setelah menutupnya, Jeongguk melangkah masuk dan mengedarkan pandangannya ke ruangan yang nampak gelap. Rumahnya memang selalu didominasi oleh kegelapan. Hal itupun menjadi salah satu dari seribu alas an mengapa Jeongguk merasa tidak suka berada disini.

Ketika Jeongguk berusaha melangkahkan kakinya sepelan mungkin menuju kamar, matanya sekilas melihat lampu dikamar ayahnya tiba-tiba menyala. Tubuhnya sontak membeku, kakinya tidak bisa dibuat melangkah dan dengan bodohnya hanya terdiam disana.

Pintu kamar terbuka, menampilkan sosok lelaki bertubuh tinggi dengan wajah menyeramkan yang mengintimidasi. Jeongguk lalu memutar tubuhnya guna menatap ayahnya yang sudah berdiri tidak jauh dari pintu kamarnya.

Dan,

Plak.

Sebuah tamparan keras mendarat sempurna dipipi kiri Jeongguk hingga wajahnya terlempar kesamping. Mata Jeongguk terpejam menahan sakit, berusaha untuk tidak bersuara sama sekali atau ia akan memperburuk keadaan. Napasnya pun ikut tidak teratur akibat menahan semuanya.

"Kemana aja kamu empat hari gak pulang?." Tanya sang ayah. Dingin dan menusuk seperti biasa. Raut wajahnya yang tidak bersahabat membuat ketakutan Jeongguk bertambah.

"Di rumah teman."

Plak.

Pipi kanannya kini mejadi sasaran. Jeongguk menahan napasnya akibat rasa pedih yang menyerang wajahnya. Sekuat tenaga ia menahan agar tidak ada satupun bulir airmata yang jatuh. Karena sungguh, Jeongguk sedang berusaha untuk kuat bersama dirinya sendiri.

"Siapa yang kasih izin?. Saya gak pernah kasih kamu izin untuk pergi dari rumah lebih dari sehari."

"Maaf."

"Keluar. Belikan saya bir."

Dan Jeongguk hanya mengangguk patuh. Dalam hati ia sangat bersyukur bahwa kali ini ayahnya tidak memukulnya dengan sesuatu. Untuk hari ini, ia aman dari luka.














Hey yall,
Hope you enjoy ya. Jangan lupa senyum hari ini.
Love uuu<3

CAIM| kvTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang