Twelve

257 39 0
                                    

Malam itu, tepatnya jam setengah Sembilan malam, Jeongguk belum pulang. Dirinya masih duduk sendiri di sebuah halte yang berada tidak jauh dari rumah temannya. Hari ini adalah hari yang cukup Panjang untuk Jeongguk. Ketika jam pulang sekolah tiba, ia dan Mingyu langsung bergegas ke toko alat tulis guna membeli keperluan kerja kelompok.

Setelah itu mereka segera menuju ke rumah Heejin untuk mengerjakan project Bahasa inggris yang harus dikumpul dalam tiga hari. Kegiatan itu bisa dibilang menghabiskan waktu yang lama. Mulai dari mengumpulkan beberapa sumber dari internet hingga membangun bentuk fisik yang harus mereka presentasikan.

Mingyu sangat beruntung karena orantuanya selalu ada untuk menjeput ketika ia tidak membawa kendaraan. Apalagi ketika langit sudah gelap seperti ini. Di satu sisi, Jeongguk ingin sekali meminta tolong untuk diantarkan kerumahnya, namun mengingat mereka beda arah dan jarak rumah yang lumayan jauh, Jeongguk harus mengurungkan niatnya.

Dan akhirnya disinilah Jeongguk. Duduk sendirian dikursi paling ujung dengan ponsel digenggamannya. Untungnya ada sebuah jaket yang dapat melindungi tubuhnya dari suhu dingin.

Terhitung tiga puluh menit Jeongguk sudah duduk sendiri menunggu bus. Tapi, entah kenapa tidak ada tanda-tanda kedatangan bus sama sekali. Padahal, bus terakhir harusnya dijadwalkan datang pada jam Sembilan kurang. Namun, hari ini rupanya tidak begitu. Jujur, Jeongguk sudah cemas. Bagaimana kalau tidak ada bus yang datang? Apakah ia harus berjalan kaki ke rumahnya? Itu jauh sekali.

Pandangan Jeongguk terfokus pada ponsel, mencoba mencari hiburan agar dirinya tidak bosan. Hitung-hitung juga sambil berharap agar ada bus yang dengan ajaibnya datang. Tanpa ia sadari, seorang pria berjalan mendekat. Dengan stelan kemeja putih dan celana hitam, pria itu duduk tidak jauh dari Jeongguk. Berjarak tiga kursi lebih tepatnya.

Jika dilihat dari penampilannya, Jeongguk yakin bahwa pria itu adalah seorang karyawan yang baru pulang bekerja. Tidak ada yang aneh dari pria itu, membuat Jeongguk memilih acuh dan tetap menatap layar ponselnya. Tak lama, ia mendengar pria itu menggerutu,

"Sialan. Kenapa harus ada masalah segala?."

Telinga Jeongguk menangkap semua perkataan pris asing itu. ia hanya diam hingga dengan tiba-tiba pria itu menyenggol kaki kirinya.

Jeonggukpun mendongak, menatap pria itu. "Dik, kamu juga nunggu bus, ya?."

"I-iya, pak."

"Lebih baik naik ojek online saja. Saya baru dikabari kalau bus kota malam ini mesinnya bermasalah."

Saat itu juga tubuh Jeongguk menegang. Genggaman diponselnya semakin mengerat. "Oh, begitu. Terima kasih infonya, pak." Ucap Jeongguk dengan senyum tipis walau dalam hati ia takut setengah mati.

"Kalau gitu saya duluan, ya." Pria itu lalu bangkit dan berjalan menjauhi halte hingga keberadaannya tidak lagi terlihat.

Sementara Jeongguk, tubuh lelaki itu sudah gemetar. Uangnya tidak akan cukup untuk memesan ojek online. Bahkan, baterai ponselnyapun sudah menipis. Jeongguk tidak punya teman lagi selain Mingyu. Tidak mungkin, kan, kalau ia tiba-tiba menelpon Minyu dan meminta jemput. Jeongguk tidak mau merepotkan temannya itu.

Maka, pilihan terakhir jatuh pada berjalan kaki. Iya, Jeongguk harus berjalan kaki entah berapa kilometer hingga ia sampai kerumah.

Walaupun jalan raya masih ramai akan mobil ataupun motor yang laluh Lalang, kondisi Jeongguk yang hanya seorang diri dipinggir jalan tetap saja menakutkan. Kepala Jeongguk tidak bisa berhenti menoleh kebelakang untuk memastikan bahwa tidak ada orang asing yang mengikutinya.

CAIM| kvTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang