Twenty four

373 37 8
                                    

tw // suicide, blood, violence, major character death


tw // suicide, blood, violence, major character death

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Lantai kamar mandi terasa begitu dingin malam itu. Jemari kaki dan tangannya seakan ingin membeku. Namun, hal itu tidak mencegah Jeongguk untuk mendudukan tubuhnya disana. Punggungnya bersandar pada dinding dengan kedua kaki yang tertekuk didepan dada. Kepalanya terdongak ke atas, total mengabaikan jejak darah dipipi kanannya.

Sebuah pecahan kaca dari botol minuman keras kembali menghantam wajahnya malam ini. Jeongguk berusaha menahan rasa sakitnya dengan tersenyum tipis. Membayangkan hal-hal indah dihidupnya. Hingga ia pun menyadari bahwa kenangan indah itu bahkan sudah perlahan terhapus sejak sang ibu pergi.

Hidupnya sungguh menyedihkan. Kepalanya berkata. Maka akhiri saja, dirinya lalu menjawab. Rasanya tidak ada lagi alasan untuk Jeongguk tetap berdiri disini. Semua orang yang ia sayang akan perlahan pergi karena Lelah menghadapi dirinya yang selalu putus asa. Taehyung akan pergi, Mingyu akan pergi.

Ayah brengseknya juga pasti akan pergi. Miris sekali jika Jeongguk pikir. Setelah menyiksa ibunya hingga hembusan napas terakhir, kini lelaki itu juga akan membuat anaknya sendiri menginginkan untuk menghembuskan napas terakhir juga. Terdapat sebuah dendam didalam diri Jeongguk. Apakah dengan meninggalkan sosok itu sendirian akan menjadi karma terbaik?.

Cause he'd never treat himself this shitty

Lagi-lagi Jeongguk mencoba untuk tersenyum, berdamai dengan dirinya sendiri.

"Pa?. Papa lihat uang Jeongguk?."

Kakinya dengan cepat melangkah keluar kamar setelah menemukan kardus yang ia pakai untuk menyimpan uang nyatanya kosong. Dengan raut wajah kesal Jeongguk menatap ayahnya yang sedang duduk santainya disofa sembari menegak minuman beralkohol.

"Kamu dan mamamu sama saja. Suka menyembunyikan uang."

Jeongguk menatap ayahnya tidak percaya. Uang yang selama ini ia tabung untuk keperluan sehari-hari kini lenyap. Saat itu juga ia menunduk dengan air mata yang berjatuhan.

"Kamu gak perlu uang sebanyak itu, Jeongguk."

"Papa pikir aku gak mau makan?. Memangnya naik bus ke sekolah gak perlu uang?." Dengan napas tercekat Jeongguk meninggikan suaranya.

Ayahnya itu lalu menatap dirinya dengan wajah mengeras.

"Aku kerja sampai malam." Lirihnya dengan kedua tangan yang terkepal.

"Gak ada yang suruh kamu kerja."

"Aku juga mau lanjut kuliah kayak teman-teman."

Prang!

Botol kaca itu menghantam wajahnya dengan keras. Wajahnya terlempar kesamping saat benda keras itu terasa menembus kulit. Jeongguk mendongakkan kepalanya perlahan saat rasa perih itu mulai menjalar di pipi kanannya. Matanya dengan jelas melihat dengan jelas bagaimana ayahnya melayangkan tatapan tajamnya yang tanpa empati sama sekali.

Sebuah tangis kembali kembali keluar. Tanpa pikir Panjang ia segera melangkahkan kakinya menuju kamar. Tubuh Jeongguk terjatuh dilantai setelah berhasil mengunci pintu itu. Tangisannya terdengar cukup keras. Namun, hal itu tetap saja tidak mengundang sang ayah untuk sekedar peduli.

Pipi kanannya terlihat koyak dengan darah segar mengalir disana. Rasa sakit sangat teramat hingga Jeongguk tidak dapat membuka matanya lagi. Telapak tangannya mencoba untuk meraba luka itu. Namun, rasa sakit semakin menjadi-jadi.

Maka setelah mendengar pintu rumahnya terbuka dan kembali terkunci, menandakan ayahnya hendak pergi keluar. Jeongguk membuka pintu kamarnya dan mengambil sebuah pisau dari dapur. Dirinya melewati pintu kamar dan masuk ke dalam kamar mandi. Membuang asal pisau itu ke lantai, bersamaan dengan tubuhnya yang terkulai lemas disana.

Dengan pandangan yang mulai memburam, Jeongguk menatap pantulan dirinya dikaca. Sudah lama sejak ia menyadari bahwa betapa menyedihkan dirinya terlihat. Apalagi ditambah luka baru yang sungguh mengoyak separuh wajahnya. Matanya lalu mengedar kepenjuru kamar mandi.

Pandangan Jeongguk lalu terpaku pada barang-barang milik sang ayah. Tanpa berpikir, ia langsung meraih sebatang sikat gigi itu dan mengantamnya kecermin hingga muncul banyak retakan. Dengan air mata yang terus berjatuhan, Jeongguk menghancurkan cermin yang memantulkan wujud dirinya itu.

Hingga dengan emosi yang menggebu-gebu ia meraih pisau yang tergeletak dilantai dengan sigap. Menyayat pergelangan tangan kirinya dalam hingga darah mulai mengalir deras dari sana. Jeongguk panik. Napasnya memburu hingga sesekali tercekat.

Namun, ia tidak berhenti. Ia tidak bisa berhenti.

Tangan kanannya membubuhkan sayatan yang bahkan semakin dalam. Air matanya tetap mengalir deras saat lantai yang ia pijak mulai ternodai oleh noda merah. Pisau itu akhirnya terjatuh ke lantai, membuat telingan Jeongguk berdenging kuat. Kedua tangannyapun bergetar saat menyadari apa yang baru saja ia lakukan.

Jeongguk melangkah mundur sembari menekan pergelangan tangan kirinya, membuat lantai dingin itu semakin tergenang oleh cairan merah kental.

Hingga ia tidak bisa menahan bobot tubuhnya lagi. Terkulai lemas dilantai kamar mandi dengan darah dimana-mana. Matanya berkedip beberapa kali, sebelum air mata terakhir itu mengalir dipipinya.

Jeongguk mendengar seseorang mengetuk pintu dengan kuat sebelum semuanya terlihat gelap.

━━━•❅•°•❈•°•❅•━━━

Mingyu turun dari mobilnya. Dengan tergesa ia membuka pagar rumah itu dengan paksa. Bahkan, tanpa permisi, kakinya melangkah masuk kedalam rumah tua itu dengan Langkah panik. Seisi rumah masih terlihat gelap saat dirinya sampai di ruang keluarga.

Perasaannya sudah tidak enak. Apalagi saat melihat sosok lelaki –yang ia ketahui sebagai ayah Jeongguk itu berdiri terpaku di depan pintu kamar mandi. Ia dapat melihat dengan jelas raut wajah lelaki itu.

"Om?." Panggilnya sembari berjalan mendekat.

Sosok itu menoleh dengan raut wajah 'hilang'. Kedua alis Mingyu sempat menyatu karena heran. Karena merasa aneh, ia lalu melangkah mendekatinya. Total panik saat hidungnya mencium bau darah segar. Iapun menggeser tubuh besar itu.

Dan tubuhnya langsung terpaku saat menatap sosok Jeongguk yang sudah terkulai lemas dengan darah dimana-mana. Dengan cepat ia mengangkat tubuh itu dan membawanya keluar. Merasa acuh dengan lelaki itu.

Setelah berhasil membaringkan tubuh Jeongguk dikursi belakang, Mingyu dengan cepat menancapkan gasnya menuju rumah sakit terdekat. Air matanya pun mengalir saat menatap tubuh sahabatnya yang sudah terlihat tidak bernyawa. Ia memukul kemudi beberapa kali karena merasa bersalah. Tak lama isakan tangis itu mulai mengisi seisi mobil.

"Ma, tolongin Mingyu."

"Di rumah sakit."



END













Sebenernya aku gak sanggup nulis scene begini tapi mau gimana lagi😭
Aku udah kasih trigger warning ya diawal. Jadi kalo chapter ini emang triggering bagi kalian tanggung sendiri oke.

Setelah ini masih ada epilog so please stay tuned:)

Btw makasi yang udah bacaa. I love u so muchiee. Yang udah vote dan komen juga terima kasih berkali-kali lipat.

Kalo ada part yang belum jelas bisa ditanya disini biar aku jawab dikomen atau mungkin di epilog hehe

CAIM| kvTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang