Fifteen

231 35 0
                                    

Hari-hari berjalan seperti biasanya. Terhitung empat hari Taehyung bermalam dirumah Jeongguk, total mengabaikan ajakan ibunya untuk pulang. Ayah Jeongguk juga sudah kembali. Tepat setelah Taehyung pulang pada malam sebelum ayah Jeongguk datang. Hari itu Jeongguk benar-benar dibuat lega karena saat ayahnya sampai, keberadaan Taehyung sudah tidak bisa ditemukan lagi dirumah.

Hari ini baik Taehyung maupun Jeongguk sama-sama berangkat sekolah sendiri. Taehyung dengan motor kesayangannya dan Jeongguk dengan bus langganannya. Pagi ini Jeongguk dibuat sedikit lega karena ayahnya dengan 'baik hati' memberi sejumlah uang. Ya, walaupun tidak banyak. Tapi hitung-hitung cukup untuk membeli makan siang selama empat atau lima hari.

Setelah sampai disekolahpun, pasangan itu masih belum saling sapa. Jeongguk juga merasa enggan untuk menghampiri Taehyung terlebih dahulu karena lelaki itu selalu dikelilingi oleh teman-temannya. Sudah dipastikan Jeongguk langsung merasa minder. Jika itu hanya Jimin, Jeongguk masih mau bergabung. Namun berbeda jika Taehyung sudah bersama dengan circle nya.

Jeongguk memilih untuk menjauh sejauh mungkin, walau jujur ia ingin bertemu dengan sang kekasih.

Entah keberuntungan dari mana, namun mata Jeongguk menangkap sosok Taehyung sedang duduk sendiri di salah satu meja kantin dengan buku diatas meja. Lelaki itu terlihat sangat fokus dengan apa yang dibaca sehingga mengabaikan apa yang sedang terjadi disekitarnya. Termasuk sosok Jeongguk yang dengan perlahan mencoba berjalan mendekat.

"Tae!."

Suara itu memanggil nama Taehyung. Jeongguk langsung saja mengenalinya karena orang itu memang sudah familiar. Maka, dirinya memilih mengurungkan niatnya dan duduk dengan jarak dua meja dari meja Taehyung.

"Kenapa masih disini?. Katanya lo mau cabut." Taehyung meyanggah. Suaranya terdengar lumayan jelas oleh Jeongguk.

Jimin lalu duduk dihadapan Taehyung, menghalangi pandangan Jeongguk. Ia kini hanya dapat melihat punggung kecil sahabat Taehyung itu.

"Gak jadi. Pacar gue ada rapat organisasi mendadak."

"Makanya jangan pacaran sama mahasiswa."

Jeongguk masih terduduk manis ketika dua sahabat itu berbincang. Ia juga sebenarnya tidak begitu peduli dengan urusan asmara Jimin. Tapi telinganya dapat menangkap jelas semua pembicaraan itu. jadilah, Jeongguk memilih mendengarkan dengan seksama. Anggap saja sebagai tmi hari ini.

"Lo jadi daftar di universitas itu, Tae?."

"Ya, jadi, kok."

"Tapi guru-guru suruh daftar univ yang dekat-dekat dulu. Gimana?."

Terdapat jeda sebentar sebelum akhirnya Taehyung menjawab. "Kenapa memangnya kalo kita mau daftar diluar?."

"Mahal katanya."

"They always act like we don't have the money."

Jimin lalu tertawa keras hingga tubuhnya sedikit terlempar kebelakang. "Tell me you're rich, without telling me you're rich."

"We do it everyday, Jim."

"So glad to be rich, you know?. We literally can do anything."

"Yeah, so glad to have that privilege." Balas Taehyung.

"Tapi pacar lo gimana?." Tanya Jimin, total membuat tubuh Jeongguk menegang seketika.

"Pacar lo juga gimana?." Tanya Taehyung balik.

Jimin terdiam. "Pacar gue bebas, sih. Dia udah gak tinggal sama ortu dan udah punya penghasilan sendiri juga. So..... bukan masalah besar menurut gue."

Terdengar sebuah helaan napas dari mulut Taehyung. "Jujur, gue juga gak tau, Jim. Gue gak bisa ninggalin dia sendiri disini sama ayahnya."

"Tae."

"Hm?." Taehyung menyahut.

"Kalau lo ngerasa berat, cerita sama gue, ya?. Jangan dipendam sendiri. Siapa tau gue bisa bantu."

Cukup sampai disana. Jeongguk tidak bisa mendengar kelanjutan dari perbincangan kedua lelaki itu lagi. Jadi selama ini dirinya hanya beban dalam hidup Taehyung?. Dirinyalah yang menjadi hambatan bagi Taehyung untuk melakukan apapun yang ia mau?. Beban yang menyusahkan. Jeongguk rasa semua itu memang benar adanya.

━━━•❅•°•❈•°•❅•━━━

Dulu semuanya baik-baik saja. Jauh lebih baik dari saat ini. Saat sosok sang ibu masih ada didunia ini. Jeongguk dan ibunya tahu betul kalau sang ayah adalah tipe orang yang keras. Membentak, mencaci maki, bahkan memukulpun bukan menjadi hal yang asing diantara Jeongguk dan ibunya.

Jeongguk masih ingat sekali bagaimana ibunya itu terkadang marah terhadap dirinya sendiri karena salah dalam memilih pendamping hidup. Ibunya kerap meminta maaf karena sifat sang ayah. Karenanya, Jeongguk lahir dan besar dengan sosok ayah yang keras. Jeongguk masih ingat sekali saat-saat itu.

Saat ibunya mengajaknya untuk berbaring bersama dan mereka mulai berbicara ditengah gelapnya malam.

Taxi melaju dengan kecepatan sedang dijalan raya yang luas. Begitu banyak mobil yang berlaluh Lalang disekitar mereka. Jeongguk dan sang ibu duduk dikursi penumpang. Sama-sama terdiam sambil menatap keluar jendela. Perlahan, Jeongguk menatap figure ibunya dari samping. Rambut hitam pendeknya terjatuh tepat dipundak.

"Jeongguk."

Mata Jeongguk sontak berkedip dengan cepat. "Kenapa?."

"Kamu mau sekolah disana, gak?." Tanya sang ibu dengan bola mata yang berbinar, menunjuk ke sebuah bangunan sekolah yang memang dikenal sebagai salah satu sekolah 'elite' diseberang jalan.

Jeongguk terkejut. Ia kira ibunya hanya bercanda. "Mama yakin?."

Ibunya mengangguk antusias. "Kalau kamu mau, mama bisa sekolahin kamu disana. Biar kamu pintar terus jadi orang sukses."

Darisana, Jeongguk dapat mengetahui bahwa ibunya memiliki pekerjaan lain diluar sepengetahuan sang ayah. Uang yang didapatkan memang sengaja ditabung untuk keperluan Pendidikan. Jeongguk tidak bisa menolak saat itu juga, tidak saat binar sang ibu terlihat jelas ketika menatapnya.

Jeongguk berhasil lolos melalui jalur tes. Ketika sang ayah tahu, ibunya kembali menjadi korban. Namun beruntung itu semua dapat berakhir ketika sang ibu dapat membuktikan bahwa ia dapat menanggung seluruh biaya Pendidikan Jeongguk selama SMA.

Satu tahun pertama, semuanya lancar. Tidak ada halangan, kecuali sang ayah yang terkadang bermasalah.

Memasuki tahun kedua, semuanya perlahan berubah. Ibu Jeongguk dinyatakan meninggal akibat kecelakaan saat hendak pulang dari supermarket. Taxi yang ditumpangi sang ibu sempat kehilangan kendali dan berakhir menabrak pembatas jalan dengan kuat, mengakibatkan supir dan penumpang meninggal ditempat.

Tidak ada yang bisa menjelaskan kesedihan Jeongguk saat itu. Tubuhnya bagai mati rasa saat sang ayah menjemputnya disekolah dan memberi tahu semuanya. Terhitung satu bulan Jeongguk tidak berangkat ke sekolah. Hanya berdiam dikamar bersama dengan sebuah syal yang biasa ibunya kenakan sehari-hari.

Sosok sang ayah yang semakin hari semakin buruk juga membuat Jeongguk Lelah untuk sekedar melanjutkan hidup.

Jeongguk dilanda kesedihan yang mendalam.

Ayahnya yang kesulitan untuk mempertahankan hidupnya dan sang anak secara finansial.

Rasa sakitnya terasa lengkap. Namun, secerca harapan muncul ketika sang ayah memutuskan untuk tetap melanjutkan biaya sekolah Jeongguk. Harapan sang ibu yang ada didalam dirinya, membuat Jeongguk akhirnya mau untuk kembali menapakkan kakinya disekolah.

Hingga saat ini.













Hey yall,
How are you?
Hope you enjoy this chapter and see youuu<3

CAIM| kvTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang