24

149 16 2
                                    

Pagi itu, cuaca mendung. Awan hitam menyelimuti langit dengan angin yang berhembus kencang, menciptakan hawa dingin yang menusuk tulang.

Sepertinya tak butuh waktu lama untuk awan-awan hitam itu mengeluarkan kandungan airnya. Pagi yang semestinya cerah itu berubah menjadi kelabu, tak ada sinar matahari yang menyinari, suasana tampak gelap nan kelam, padahal jam sudah menunjukan pukul 06.15 pagi.

Hinari sudah bersiap dengan seragam sekolahnya, rambut hitam legam yang ia miliki diikat rapi menjadi satu, menggunakan ikat rambut dengan hiasan pita berwarna biru muda. Wajahnya dipoles make up tipis, membuatnya yang memang sudah cantik menjadi makin cantik saja. Bulu mata lentik, bibir ranumnya, kulit putih dan tubuh proporsionalnya menjadi modal utama gadis itu untuk tampil bersinar.

Gadis cantik itu menatap pantulan dirinya di depan cermin, ia menarik senyum manis, mudah saja untuknya menjadi pusat perhatian di sekolah, menjadi murid hits yang disegani banyak orang. Namun Hina tak menginginkan hal itu, cukup banyak resiko yang akan ia dapat, karena semakin banyak orang yang mengenalnya, semakin banyak juga rasa penasaran terhadap dirinya. Bukan tak mungkin, tabiat asli milik Hina akan terbongkar, sekarang saja ia sudah susah payah menyembunyikan semuanya, Hina tak mau lagi direpotkan dengan masalah kecil yang dibesar-besarkan dan akhirnya menghancurkan kehidupannya 'lagi'.

Gadis bermata bulat itu meraih tasnya, menyampirkannya di atas pundak. Ia berlalu meninggalkan cermin besar yang tersimpan di sudut kamarnya itu, berjalan menuju ruang tengah.

Hinari amat sangat bersyukur karena sejak semalam sampai pagi ini, ia tak menemukan kejanggalan apapun di sekitar rumahnya. Penguntit itu bagai lenyap ditelan bumi, menghilang entah kemana. Walau sedikit, Hina bisa menghela napas lega setelah berhari-hari dirundung ketakutan, bahkan saat di rumahnya sendiri.

Jemari lentiknya meraih hoodie yang tergantung di atas kastok pintu kamarnya sebelum benar-benar meninggalkan ruangan pribadinya tersebut. Ia mengenakan hoodie merah muda itu, menghalau hawa dingin yang saat ini menyelimuti pagi. Gadis itu kemudian meraih sepatunya, duduk di atas sofa ruang tengah dan memakai sepasang sepatu itu. Namun tiba-tiba pikirannya teringat akan sesuatu, memorinya memutar kembali ingatan malam kemarin, tentang perlakuan baik yang ia terima untuk pertama kalinya, dari seorang pria sejuta pesona itu.

Mata dengan bulu mata lentik itu menatap ke arah dapur, Hina jarang menyentuh tempat masak tersebut, ia lebih sering membeli makanan di luar ketimbang memasaknya sendiri. Dan menyadari bahwa tempat itu pernah hangat oleh api kompor dan kepulan asap dari panasnya makanan yang dimasak, membuat hatinya agak terusik, seperti ada yang merengkuh gumpalan daging itu agar ia merasa hangat.

Kapan terakhir kali ia merasakan masakan rumahan? Kapan terakhir kali seseorang menyambutnya dengan aroma sedap dari makanan yang baru dimasak? Kapan terakhir kalinya rumahnya tak terasa sesepi ini?

Ah..

Hina menghela napas berat. Sejak awal memang ia tak penah merasakan semua kehangatan itu. Sejak dulu Ibunya tak pernah benar-benar menjadi sosok 'Ibu' untuknya, ia tumbuh atas keterpaksaan, ia hadir atas ketidak inginan. Itulah sebabnya, perlakuan kecil pria itu amat membekas dalam hatinya, membuat Hina bahagia padahal itu bukanlah hal besar. Karena Hina memang tak pernah merasakannya, Hina tak pernah mendapatkan perlakuan itu dari siapapun termasuk sang Ibu.

Gadis berambut hitam yang diikat rapi itu berdecak, ia menggelengkan kepalanya, menyingkirkan ingatan manis itu dari benaknya.

"Lo nggak pantes! Lo gak pantes buat nyimpen rasa sama siapapun! Lo harus sadar diri!" Hina bergumam dengan nada sarkas, mengingatkan dirinya akan siapa ia.

Hina bangkit dari duduknya, memilih berjalan menuju pintu keluar, mencoba untuk tak berlarut-larut dalam perasaan bahagia namun dusta itu. Sebelum perasaan tersebut membuatnya jatuh semakin dalam, dan membuatnya terjerat pada perasaan semu itu tanpa pernah dapat terlepas lagi.

Manuskrip Perjalanan Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang