Prolog

831 46 3
                                    

Warning!
Cerita ini mengandung banyak unsur vulgar, kata-kata kasar, tindakan senonoh, dan perilaku negatif yang tidak patut dicontoh lainnya.
Harap pembaca bijak dalam memilih bacaan.
Tidak disarankan bagi yang dibawah umur 18+ untuk membaca.
Mohon hargai penulis dengan tidak berkomentar negatif. Mari hargai penulis dengan vote dan comment positif agar penulis selalu semangat melanjutkan tulisannya.
Terimakasih

🦋🦋🦋

Kerlap-kerlip lampu disko berwarna-warni menerangi ruangan, suara alunan musik yang dibawakan oleh sang DJ diputar keras-keras. Semua menari di atas lantai, di ruangan tak seberapa besar, saling bersenggolan sambil menikmati irama musik, melepaskan semua beban hidup yang memenuhi pundak mereka.

Gadis berambut semampai dengan gaun mini yang membentuk lekuk tubuh indahnya, berjalan menuju sebuah sofa. Bibir merah menyala, riasan mata dengan tema smokey eye look, perona pipi yang membuat senyumannya tampak indah, gadis itu tampak sempuran malam ini.

Gaun mini tanpa lengannya mengekspos dengan mudah kulit putih mulus miliknya, belahan dadanya terlihat menggoda untuk para lelaki yang melihatnya, belum lagi pinggul indahnya serta pinggang rampingnya. Gadis itu, sukses menjadi bintang dalam pesta tersebut.

"Hai cantik, akhirnya kamu datang juga.." pria bersetelan jas hitam menyambut gadis itu ketika telah sampai di hadapannya.

Sebuah sofa dengan beberapa botol minuman beralkohol berserakan di atas meja. Tiga pria duduk di sana, dua diantaranya sudah mulai bermain-main dengan para wanitanya, sedang satu pria lagi akan menjadi tuan sang gadis malam itu.

Sebenarnya, dipanggil gadis pun ia sudah tak pantas, namun untuk disebut seorang wanita usianya masih terlalu belia.

"Come on baby.." suara serak pria itu menyambut telinganya.

Hinari, gadis itu tersenyum semanis mungkin. Akhirnya, ia bisa mendapatkan pelanggan seorang pria muda tampan setelah sekian lama, tidak lagi melayani pria tua bangkotan yang perutnya rata-rata sudah membuncit.

Biar Hinari tebak, pria ini pastilah seorang tuan muda yang berasal dari kalangan konglomerat. Hina beberapa kali bertemu dengannya di club, susah sekali untuk Hina mendekati pria itu, terlalu banyak saingan yang juga mengincarnya.

Hina duduk di pangkuan pria itu, mengalungkan lengannya, memandang dengan sorot mata menggoda wajah tampan di hadapannya.

"Kamu wanita malam tercantik yang pernah aku temui." Pria itu membawa helaian rambut Hina ke belakang telinga gadis itu.

Hina tersenyum malu-malu, "Aku sudah lama ingin bermain denganmu." Bisiknya.

"Kamu tampak masih muda, bedapa umurmu?"
Pria itu kini mulai menjelajahi setiap inci tubuh Hina dengan tangan besarnya.

Hina menikmati setiap sentuhan pria itu, "Aku lebih muda dari yang kamu bayangkan." Lalu gadis itu mulai mendesah.

Hinari, itu nama yang gadis itu ambil asal sebagai identitasnya. Menjadi wanita penghibur di sebuah club malam adalah pekerjaannya. Menjadi wanita hina seperti namanya, bukan lagi masalah baginya. Hidupnya tak pernah sesuai keinginan. Latar belakang keluarga yang berantakan membuat Hina mau tak mau merelakan masa mudanya yang 'normal' hanya untuk bisa bertahan dari kerasnya dunia ini.

Hinari memandang dunia hanya sebatas tempat untuk menampung para manusia biadab dan munafik. Mereka yang hanya mementingkan harta, tahta, dan wanita, melakukan segala cara untuk memuaskan hasrat mereka. Dan Hinari harus hidup dalam dunia penuh duri itu bahkan sejak usianya masih belia.

"Dunia ini kejam, benar?" Pria dengan potongan rambut belah itu berujar, kini sibuk menciumi leher jenjang milik Hina.

Sisa-sisa kesadaran gadis itu sudah mulai berterbangan, matanya terpejam, tampak begitu menikmati semua perlakuan pria itu padanya.

"Hanya untuk kami. Mereka yang berlimpah harta memandang dunia sebagai surga." Jawab Hina di sela-sela desahannya.

Pria yang tengah Hina layani itu terkekeh, "Kamu benar." Katanya.

🦋🦋🦋

Ihsan sudah selesai membereskan barang- barangnya, semua sudah tersusun apik, di simpan di tempat yang seharusnya. Pria berkaos hitam lengan pendek itu tersenyum puas dengan hasil kerjanya sendiri, tangannya bersidekap, ia menghela napas panjang. Ini hari yang melelahkan untuknya.

Hari ini adalah hari pertamanya di rumah baru, tempat baru, kota baru. Rumah sewa dengan luas 24×24 meter persegi itu akan menjadi tempat tinggalnya mulai sekarang. Bangunan dua lantai itu menjadi tempat untuk dua puluh orang dari berbagai latar belakang itu tinggal, termasuk juga Ihsan yang akan menjadi penghuni baru di sana.

Bukan tempat yang mewah seperti apartemennya di kota sebelumnya, tempat ini lebih bebas dan terbuka, Ihsan melihat beberapa tetangga bercengkrama di luar sana, kebanyakan adalah mahasiswa dan pegawai muda. Ihsan menyapa mereka sebentar, berkenalan, lalu pamit untuk berkemas rumah. Walau begitu, Ihsan cukup nyaman di sini. Ada sebuah jendela yang mengarah langsung ke arah sinar matahari di kamarnya yang tak begitu luas itu, membuat kamarnya tidak terlalu terasa pengap.

Ihsan duduk di atas kasur, menghirup udara sebanyak-banyaknya.

"Alhamdulillah, akhirnya selesai juga." Katanya.

Punggung pria itu bermandikan sinar matahari senja, warna oranye menyinari sekeliling ruangan. Suara kipas angin memecah keheningan, membelai lembut permukaan kulit wajah Ihsan.

Esok, adalah hari pertamanya menjalankan tugas sebagai tenaga pengajar baru di sebuah sekolah swasta di kota itu. Ia mengajar pelajaran matematika.

Sudah enam tahun Ihsan mengabdi sebagai seorang guru, ini pertama kalinya ia pindah tugas setelah enam tahun mengajar di sekolah sebelumnya. Banyak kenangan yang tercipta dan pastinya akan sangat ia rindukan di sekolah lama. Bahkan sebelum kepindahannya, para muridnya membuat sebuah kejutan kecil sebagai tanda perpisahan, memohon untuk tidak melupakan mereka semua, dan meminta Ihsan sering-sering mengunjungi mereka.

Ihsan tertawa kecil, begitu renyah, akan ada kenangan apa lagi yang akan ia temui di tempat baru ini?

Pria itu menengadah ke atas langit-langit kamarnya, "Semoga Allah selalu mendatangkan kebaikan dalam hidup ini."

Ihsan adalah pria teguh pendirian. Seperti pria sholeh lainnya, Ihsan selalu menjalani harinya dengan penuh rasa syukur pada Sang Maha Kuasa, dengan selalu membaca "Bismillah.." dalam setia langkah yang ia pilih, dengan tak pernah lupa mengucap istigfar untuk setiap salah yang ia buat.

Kemudian, Hinari dan Ihsan bertemu dalam sebuah skenario hidup tak terduga.









Pandeglang,
28 August 2020

Manuskrip Perjalanan Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang