3

292 30 1
                                    

Beberapa hari berlalu, Ihsan sudah tampak terbiasa dengan tempat baru yang saat ini ia diami, juga dengan tempat kerja baru yang sekarang ia jalani. Tak banyak yang spesial beberapa hari belakangan, sesekali Ihsan merindukan tempat lamanya ketika sedang merenung sendirian.

Maklum saja, Ihsan tak memiliki teman atau kerabat di sini. Di kota sebelumnya, tak hanya orang tuanya, tapi sahabatnya semua ada di sana, membuat hari Ihsan tak sesepi saat ini.

Ihsan selesai melaksanakan sholat sunnah duha, ini adalah hari minggu, jadi ia tak perlu pergi ke sekolah untuk mengajar. Ada beberapa tugas siswa yang harus ia periksa, namun akan ia lakukan nanti malam saja, hari ini ia mau keluar untuk membeli persediaan bahan makanan.

Ihsan belum banyak tahu daerah-daerah di sana, jadi ia menggunakan kesempatan berbelanja ini untuk lebih mengenal tempat yang akan ia tinggali beberapa tahun ke depan itu.

Saat tengah bersiap, suara ponsel Ihsan berdering nyaring. Pria itu menatap sejenak layar ponsel, tertera nama 'Bang Adnan' di sana. Ihsan tersenyum, rupanya ia baru ingat kalau belum memberi kabar apapun semenjak ia pindah dan sampai sekarang.

Bang Adnan, ia teman Bang Akhi kakak laki-lakinya. Sudah seperti keluarga, Ihsan menganggapnya seperti Kakak kandung.

Ihsan mengusap layar ponsel, menjawab panggilan tersebut.

"Assalamualaikum, halo Bang." Sapa Ihsan didetik pertama telepon tersambung.

"Waalaikumsalam, ni anak emang nggak ada akhlak ya! Tiba-tiba pindah, pas pindah nggak ngasih kabar." Suara Adnan di sebrang sana terdengar menggerutu.

Mendengarnya, Ihsan terkekeh. Ia berjalan menuju pintu, memakai sandal jepitnya, lalu keluar dari rumah.

"Maap Bang, belom sempet aku. Kemarin itu masih sibuk banget beres-beres barang, belum lagi aku harus ngajar, jadi belum bisa ngasih kabar sama siapapun di sana."

Ihsan tak bohong, barang-barangnya masih banyak yang belum selesai dibereskan, waktu dan tenaganya terkuras habis sebab melakukannya seorang diri saja. Bahkan, ia-pun tak memberi kabar apapun pada kedua orang tuanya saking sibuknya.

Ihsan kini tengah turun dari tangga, tangannya memegang pegangan tangga dengan hati-hati.

"Gimana kabarmu di sana?" Tanya Adnan.

"Aku baik, Bang. Aku cepet beradaptasi, suasananya tenang kayak yang aku suka, orang-orangnya juga ramah. Abang gimana? Oh iya, bilang juga sama Bang Akhi kalo aku baik-baik ajah di sini, suruh dia bilang itu juga ke Ummi sama Abah."

Terdengar decakan di sebrang sana, "Bilang lah sendiri, sebenernya yang abangmu ini aku atau Akhi sih? Kenapa kalian nggak deket kayak adek kakak lain? Musuhan mulu!"

Kembali, Ihsan terkekeh. Kali ini tak menjawab, Adnan tahu betul apa yang membuat hubungannya dengan sang Kakak kandung itu merenggang. Ihsan tak mau mengingat-ingat, takut rasa marah dan kecewa itu kembali meluap.

"Omong-omong, kenapa telepon Bang? Aku tahu lah, pasti bukan sekedar basa-basi nanya kabar." Ujar Ihsan, saat ini ia tengah menyebrang di jalan besar.

Jalanan hari ini cukup padat, mungkin karena weekend, banyak yang pergi berlibur dihari minggu ini.

Adnan terdengar menghela napas, "Nggak ada apa-apa sih, aku diminta Akhi buat nanya kabarmu. Abangmu itu gengsi gede banget emang."

Manuskrip Perjalanan Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang