8

198 24 2
                                    

"Bapak mau tidur sama saya?"

Ihsan memejamkan mata, menghalau pening yang tiba-tiba mendera.

Allah, cobaan apa ini?

Ihsan mencoba untuk tetap berada dalam kewarasannya. Enggan mendengar ocehan gadis itu lebih jauh, yang hanya akan membuatnya tambah frustrasi, Ihsan memutuskan untuk segera masuk ke dalam rumah, menutup pintu lalu menguncinya.

Dadanya berdebar amat kencang, hembusan napasnya memburu, Ihsan banyak menahan napas saat menghadapi gadis itu tadi.

Ternyata, menghadapi gadis itu lebih sulit daripada menghadapi dua puluh murid bandel di sekolah. Dalam artian, gadis itu sepertinya memang setengah gila. Kewarasannya diambang antara normal dan abnormal.

Astagfirullah..

Entah sudah berapa banyak istigfar yang Ihsan lantunkan.

🦋🦋🦋

Hinari menggigit bibir dalamnya kuat-kuat, tangannya mengepal hebat sampai buku-buku jarinya terlihat memutih. Apa yang baru saja ia katakan benar-benar butuh banyak keberanian. Memang sejak awal, Hina sudah menduga bahwa pria itu akan dengan mentah menolak ajakannya tersebut, namun sisi hati Hina yang lain mengatakan bahwa ia harus mencobanya.

Melihat bagaimana pria itu tak menanggapi ucapannya tadi, membuat Hina semakin yakin bahwa akan sangat tidak mudah membuat mulut pria itu bungkam. Hina memang tak perlu khawatir karena pria itu yang terlihat tidak peduli, bahkan reputasi Hina masih baik-baik saja sejauh ini. Namun siapa yang akan tahu esok kan seperti apa? Bisa saja tiba-tiba pria itu berubah pikiran dan akhirnya menindak lanjuti perbuatan senonohnya tempo hari itu.

Entahlah, melihat sikap pria itu yang begitu teguh pendirian membuat jiwa Hina merasa tertantang, benarkah pria itu tidak seperti manusia-manusia munafik lain seperti di luar sana? Atau ia tak berbeda dari para bajingan tengik yang biasa Hina temui.

Hina melepaskan kepalan tangannya, ia menghela napas dalam. Sinar mentari senja menyorot punggung gadis itu, hari sudah semakin larut, matahari sudah bersiap pulang ke peraduannya.

Gadis dengan rambut terkepang rapi itu mengangkat tangan tinggi-tinggi, ia regangkan tubuhnya untuk mengusir segala rasa letih yang ia alami satu hari ini.

Sekali lagi, Hina menatap pintu di hadapannya yang tertutup rapat tersebut. Hina melipat kedua lengannya di atas dada, gadis itu mengulas senyum separuh.

"Kita tunda permainan kita untuk sekarang, Pak." Gumam gadis itu, sebelum akhirnya melangkah menuju pintu sebelah, yang tak lain adalah rumahnya.

🦋🦋🦋

Hina sudah bersiap dengan dress selutut berwarna maroon bermodel sambrinanya. Rambut hitamnya terurai begitu saja, sebuah pin rambut berbentuk kupu-kup berwarna oranye tersemat di sisi rambut sebelah kanannya. Hanya pelembab, bedak tabur, lip balm peach dan dua semprot minyak wangi beraroma mawar yang menjadi andalannya malam ini.

Bukan, Hina bukan pergi untuk melayani para tuannya malam ini, bukan juga untuk pergi ke club untuk mencari mangsa. Gadis cantik bermata bulat itu akan pergi ke sebuah rumah sakit. Rumah sakit jiwa lebih tepatnya.

Ada sebuah rutinitas satu bulan sekali yang selalu Hina sempatkan untuk menjalankannya. Pergi ke rumah sakit jiwa untuk membesuk seseorang di sana.

Ironisnya, orang itulah yang membuat hidup Hina hancur porak poranda seperti saat ini.

Namun untuk pergi meninggalkan orang tersebut, Hina tak kuasa. Satu momen yang dulu pernah tercipta, dan menjadi kenangan yang tak pernah bisa dilupakan terukir indah dalam benaknya.

Orang itu pula yang membuatnya 'pernah' merasakan bagaimana hangatnya ketulusan sebuah rasa cinta. Yang tak pernah Hina rasakan lagi bahkan hingga detik ini.

Hina memejamkan mata, tiba-tiba dadanya terasa sesak setiap mengingat momen masalalunya tersebut. Gadia itu menghela napasnya, menormalkan kembali detak jantungnya yang terasa tak keruan.

Gadis cantik berwajah oriental yang khas itupun akhirnya berjalan menuju pintu, memakai sepatu flat shoes merahnya, kemudian keluar dari rumah kecilnya.

Angin malam yang dingin menyambut saat tubuh mungil gadis itu sudah berdiri di depan rumah. Masih sekitar jam tujuh malam, para tetangganya masih terdengar bercengkrama di dalam rumah mereka, beberapa ada yang nongkrong di luar dengan beberapa gelas kopi panas yang uapnya mengepul di udara. Hina sekali lagi, menghela napasnya dalam-dalam. Saatnya berpura menjadi tetangga yang 'normal' dengan beramah tamah ketika melewati mereka semua.

Hina bersiap memasang tampangnya, sebelum akhirnya berjalan menuju tangga di ujung sana.

"Neng Hina mau kemana malam-malam begini?"

"Biasalah Mas, ke RS jenguk Ibu."

🦋🦋🦋

"Kamu cantik sekali malam ini, suamimu pasti bakal suka sekali lihat kamu, dan ngasih banyak uang sama kamu.. ya ampun, cantiknyaaa anak Mama.."

Hina menatap datar wanita paro baya dengan rambut terurai panjang itu yang tengah mengelus-elus wajahnya saat ini. Gadis cantik bermata bulat itu duduk di atas ranjang milik wanita tersebut, beberapa pasien lain tampak memperhatikan interaksi keduanya.

Hina memalingkan wajah, membuat wanita di hadapannya itu menghentikan kegiatannya mengusap wajah Hina. Arni, nama wanita itu, tak lain adalah Ibu dari Hinari Amora, ah bukan, ia bukan Hina bila di hadapan wanita itu, melainkan..

"Ajeng, kenapa sayang? Suamimu nggak kasih kamu uang ya? Makanya muka kamu jadi sebel kayak gini? Mana suamimu itu! Biar Mama yang marahin dia." Mata wanita dengan rambut terurai itu membulat, seraya menggenggam erat jemari Hina.

Hina mendengus, ia sudah muak dengan segala ocehan Ibunya selama ini yang selalu membahas tentang uang, uang dan uang. Tak dipungkiri, Hina-pun amat mencintai lembaran kertas tersebut, hidupnya hanya untuk uang, namun semua yang Ibunya katakan sudah terlalu keterlaluan. Dalam setiap kata yang terucap, Ibunya hanya mengkhawatirkan tentang uang, tak sedikitpun memikirkan kondisi dirinya saat ini.

Hina menatap manik hitam sang Ibu dengan tatapan tajam. Gadis itu menahan napasnya, menekan dalam-dalam segala emosi yang sekarang tengah berkecamuk dalam dadanya.

"Kapan Mama akan sadar?" Tanya Hina lirih.

Mendengar itu, wanita dengan rambut terurai tersebut terdiam, gelagapan mendengar penuturan Hina barusan. Entah, mungkin seperti ada sesuatu yang menghantam relung jiwanya, Arni tiba-tiba bersikap enggan pada Hina. Wanita itu menajauh dari putrinya tersebut, menatap gadis itu dengan pandangan tak terdefinisi.

Hina menggigit bibir dalamnya, mencengkram sprei tempat tidur dengan luapan emosi yang meminta ditumpahkan namun sengaja ia tahan. Hina cukup sadar untuk tidak membuat kekacauan di rumah sakit hanya karena emosinya saat ini, ia tak mau sang Ibu kembali mengamuk dan membuat gaduh seantero rumah sakit seperti tempo hari.

Gadis itu akhirnya bangkit dari duduk, matanya menatap penuh kekecewaan pada wanita yang saat ini beralih meringkuk di sudut kasur, diam membisu di sana.

"Cobalah untuk bangun dari semua mimpi-mimpi mustahil itu, Ma. Ini kenyataan, bukan khayalan. Aku capek harus terus menerus denger ocehan Mama yang berputar di itu-itu terus, sesekali cobalah buat nanya tentang aku, tentang aku yang katanya anak Mama ini." Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.

Sedang sang Mama masih terdiam, matanya menatap kosong ke arah Hina, entah apa yang wanita itu tengah rasakan maupun pikirkan.

Hina mendengus, gadis itu mengalihkan pandangannya dari wajah sang Ibu.

"Jaga kesehatan Mama, cepat sembuh supaya aku nggak harus terus jual diri kayak gini cuma buat biayain Mama yang nggak juga sembuh ini."
















Pandeglang,
29 September 2020

Manuskrip Perjalanan Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang