30

194 21 6
                                    

Sebulan kayaknya ya aku nggak update? Mood aku buat nulis cerita ini tuh lagi naik turun banget, ditambah kesibukan di real life yang gak bisa ditunda ༎ຶ‿༎ຶ jadi mohon maaf ya semuaa ಥ╭╮ಥ (Sebenernya sibuk bernolep ria sih:')

Oh iya, haloo~
Assalamualaikum, apa kabar?
Masihkah ada yang nungguin cerita ini update? :'))) dukung aku terus yaa, supaya aku semangat buat lanjutin cerita ini ><

Selamat menunaikan ibadah puasa semuaaa (≧▽≦) semoga banyak keberkahan yang datang di bulan Ramadhan kali ini yaa~
Semangat puasanyaaa (◍•ᴗ•◍)❤

Akhir-akhir ini aku lagi nyempetin buat nonton series movie nya Harry Potter buat ngisi waktu luang :'3 terus aku juga lagi pengen nonton film Titanic, hehe..
Aku lagi seneeeng banget sama anime Shadow House sama Boku no Hero Academia season 5 :') gak pernah berhenti terpesona sama Todoroki yang hampir bikin mimisan tiap nonton///PLAK!

Di youtube aku lagi suka juga nontonin video di channel nya bang Jerome, Nihon go Mantappu :'v
Dan lagu yang lagi aku asik dengerin ada dari Yoasobi yang judulnya Tabun sama Weeekly yang judulnya After School.

Udah segitu ajah, enjoy reading guys! Semoga suka 💕

🦋🦋🦋




"Ihsan belum siap, mi.."

"Pulanglah dulu, nanti kita bicarakan lagi sama Abbah."

"Entah Ihsan bisa bujuk Abbah atau nggak kali ini Ummi, usaha sebelumnya saja Abbah masih tetap keukeuh sama pendirian beliau.."

Helaan napas panjang terdengar di seberang sana, mengundang pria dengan rambut kecokelatan itu ikut menghela napas, punggung besarnya tersandar di bahu ranjang, malam sudah larut, aroma sisa air hujan menguar ke udara, hembusan angin terasa dingin menerpa kulit.

Masalah perjodohannya dengan gadis pilihan Abbah belum juga menemui titik temu kesepakatan. Ihsan yang belum siap untuk menikah dalam waktu dekat, juga sang Abbah yang tetap pada pendiriannya untuk menikahkan putra laki-lakinya itu.

"Pulanglah dulu.." kembali, suara dengan nada keibuan itu membujuknya.

Ihsan yang mendengar penuturan lemah lembut itu tak bisa berkutit, rasanya tak tega bila harus kembali menjawab 'tidak' untuk permintaan sang Ibu itu kali ini.

"Ihsan.. Ihsan belum bisa, Ummi. Maaf.."

Sang Ibu terdiam, merasa bila hubungannya dengan sang Putra menjadi semakin jauh. Putranya seperti sudah tak lagi tergapai, seperti telah hidup di dunia yang berbeda saat ini. Ihsan bukan lagi anak kecil penurut yang selalu mendengarkan setiap perkataan orang tuanya, Ihsan telah menjelma menjadi pria dewasa dengan pikiran yang jauh lebih rumit, dengan kehati-hatiannya dalam mengambil sebuah keputusan untuk hidupnya.

Wanita paro baya itu tak lagi bisa menatap putranya sebagai anak kemarin sore, yang menangis karena jatuh dari sepeda seperti dahulu.

Hidup putranya saat ini tak lagi dapat dicampuri oleh orang lain.

Akhirnya, wanita dengan paras keibuan itu hanya dapat menghela napas, tak ada lagi upayanya untuk membujuk putra bungsunya itu.
Ia mengangguk di sebrang sana, "Yasudah, terserah kamu, nak.. Ibu hanya bertugas menyampaikan saja. Jaga diri kamu di sana, urusan di sini biar Ibu yang urus nanti." Katanya dengan suara lembut.

Setelah saling mengucap salam, panggilanpun terputus. Ihsan kembali menghela napas dalam-dalam, rasanya ia sudah seperti menjadi seorang anak yang durhaka, bagaimana bisa ia membiarkan sang Ibu nampak kecewan dengan keputusannya seperti ini?

Manuskrip Perjalanan Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang