1

423 37 1
                                    

Ihsan terbangun, pria berambut kecoklatan itu menatap langit-langit kamarnya dengan nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul. Suara dering jam alarm dari ponselnya menggema di seluruh ruangan, dari jendela yang tertutup tirai itu tampak masih gelap di luar sana. Ihsan mengerjap, mencubit pelipisnya.

Pria itu bangun dari pembaringan, bibirnya menguap dengan tangan mengusap-usap mata.

Ia mematikan alarm yang berbunyi, menatap pada layar ponsel yang menyala.
Masih pukul 03.05 dini hari, tapi Ihsan tak berniat melanjutkan tidur. Rutinitasnya untuk melaksanakan sholat malam sudah menjadi hal wajib, bila bukan karena hal darurat seperti sakit, Ihsan sebisa mungkin untuk selalu melaksanakannya.

Ihsan menatap sekeliling kamarnya, sebuah tempat baru. Pria itu baru ingat kalau dirinya baru saja pindah kemarin, matanya belum terbiasa dengan pemandangan baru itu, beberapa perabotan masih di dalam kardus dan berserakan, Ihsan belum sempat melanjutkan beres-beres karena terlalu lelah. Ia tinggal seorang diri, tak ada yang membantunya untuk merapikan barang-barangnya.

Tak mau terlalu lama mengulur waktu, Ihsan bangkit dan berjalan menuju kamar mandi dengan perlahan. Setelahnya, terdengar suara air keran yang dibuka, Ihsan mulai mengambil wudhu.

🦋🦋🦋

Hina berjalan gontai, memunguti satu persatu bajunya yang berserakan. Sebuah selimut menutupi tubuhnya, kondisinya berantakan dengan riasan yang mulai luntur, rambut kusut dan bercak kemerahan memenuhi leher dan dadanya.

Gadis itu menghela napas, menatap seseorang yang tertidur pulas di atas kasur. Pria itu tak memberinya pulang semalam, padahal hari ini ia harus bersiap untuk menjalani keseharian 'normal'nya. Namun karena paksaan pria itu, Hina hampir terlambat bangun dan pulang sebelum matahari terbit.

Jujur saja, matanya masih sangat mengantuk. Ia ingin sekali melanjutkan tidur, mengisi kembali energinya setelah semalaman terkuras habis untuk melayani tuannya malam itu. Namun apalah daya, kehidupan 'normal'nya menunggu, ia tak mau melewatkan satu haripun untuk kehidupannya itu.

Hina memakai pakainnya, dress mini berwarna merah menyala yang mengekpose tubuh indahnya tampak begitu pas di badan mungilnya. Tangannya meraih tas tangannya di satu sudut ruangan, mengambil compact powder lalu membukanya, untuk melihat di cermin bagaimana wajahnya saat ini. Wajahnya tak kalah kacau, eyelinernya beleberan kemana-mana, lipsticknya berpindah tempat, kelopak matanya menghitam karena kurang tidur. Astaga, dirinya tidak bisa keluar dengan wajah seperti itu.

Gadis itu kembali merogoh tasnya, ia mengambil micellar water dan kapas, menghampus make upnya yang berantakan tersebut.
Setelah dirasa sudah cukup bersih, ia berdiri, merapikan kembali dressnya lalu menggelung rambut semampainya. Ia memungut stiletto di dekat pintu, memakainya lalu menghela napas.

Ia mematap kembali pria yang masih tak terusik sama sekali dengan kegiatan Hina, tidur pulas, masih sibuk menjelajah alam mimpi.

Hina mengangkat bahu, "Setidaknya dia sudah memberi uangnya di muka, aku bisa pergi semauku setelah menyelesaikan tugasku."

Kemudian, gadis itu berlalu dari tempat itu.

🦋🦋🦋

Ihsan sudah siap dengan baju koko, sarung, dan kopiahnya. Adzan subuh bersahutan dari masjid dan mushola di sana. Sudah pukul empat, waktunya Ihsan melaksakana sholat wajib subuh.

Pria itu berjalan menuju pintu, memutar kunci lalu membuka kenop. Hawa dingin pagi hari  menyambutnya, membuat Ihsan bergidik seketika. Ihsan melangkah keluar, mengucap basmalah sebelum pergi, tiada daya dan upaya melainkan karena Allah, dan hanya pada-Nya lah ia bisa berlindung.

Ihsan menatap langit, masih gelap, pintu-pintu para tetanggapun masih tertutup rapat. Pria berbadan tegap itu melangkah menuju tangga, hendak berangkat ke masjid untuk melaksanakan sholat subuh berjamaah.

Namun langkahnya terhenti ketika telinganya mendengar suara langkah kaki menaiki tangga. Ihsan bergeming, memperhatikan tangga itu di depan pintu rumahnya. Sedikit demi sedikit, muncul siluet seseorang.
Seorang gadis rupanya, kening Ihsan seketika berkerut.

Untuk apa seorang gadis keluyuran dikala hari masih gelap seperti ini?

Dan Ihsan tak dapat lagi menyembunyikan keterkejutannya ketika melihat bagaimana penampilan gadis itu saat ini.

Gadis itu menguap lebar, ia mengenakan dress mini tanpa lengan berwarna merah menyala, rambut yang digelung asal, tangannya menenteng tas tangan berwarna hitam, dan stiletto yang berwarna senada dengan tasnya.

Seketika, Ihsan menundukan kepala, mengucap istigfar sebanyak-banyaknya.

Suara langkah kaki gadis itu mulai mendekat, Ihsan masih tetap menunduk. Terdengar suara menguap dari gadis itu, dan akhirnya gadis itu melewati Ihsan begitu saja.

Ihsan menghela napas, tak menyangka akan bertemu dengan gadis seperti itu di tempat ini. Lagipula, ia tak habis pikir, kenapa gadis yang masih tampak belia itu keluyuran dengan pakaian serba terbuka digelap buta seperti ini?

Ihsan menggelengkan kepalanya jengah, tak mau terlalu ambil pusing, lagipula itu bukan urusannya.

Pria itu mengencangkan kopiahnya, kembali melanjutkan langkah menuruni tangga. Namun langkahnya harus kembali terhenti ketika sebuah suara mengusik indera pendengarnya.

"Orang baru?" Tanya suara itu.

Ihsan tak berniat berbalik badan, suara mendayu seorang gadis itu tak perlu Ihsan tebak milik siapa. Pasti milik gadis tadi.

"Hm.." Ihsan hanya bergumam sebagai jawaban.

"Ok, semoga kerasan di sini." Ujar gadis itu sebelum terdengar suara pintu terbuka, lalu tertutup kembali.

Ihsan lagi-lagi menghela napas, perasaannya tidak enak. Berurusan dengan tetangga seperti gadis itu tak pernah Ihsan sangka, pria itu selalu berusaha menghindari tempat-tempat yang bisa menimbulkan fitnah dan mengacaukan kendali hawa nafsu.

Dalam hati pria itu berharap, semoga ini hanya sebuah kebetulan, dan ia takan lagi berurusan dengan orang lain yang seperti tadi.

🦋🦋🦋

Hina masuk ke dalam rumah, beberapa barang berserakan di lantai, lupa ia bereskan. Keadaan rumahnya cukup kacau, pakaian kotor menumpuk di satu sudut, peralatan makan yang belum sempat dicuci memenuhi bak wastafel, sampah bekas mi instan tergeletak dibanyak tempat.

Akhir-akhir ini ia sibuk sekali, beberapa pria yang ia layani mengantri untuk meminta layanan 'spesial' yang biasa Hina lakukan satu kali dalam seminggu. Ia harus mengatur jadwalnya, menyeimbangkannya dengan urusan kehidupan normalnya agar tak menganggu satu sama lain.

Gadis itu melempar asal tasnya, masih subuh, ia bisa kembali tidur untuk satu atau dua jam lagi, mengisi kembali staminanya yang sudah terkuras habis.

Ia melepaskan dress mini yang begitu sesak itu dari tubuhnya, menyisakan tubuhnya yang hanya  berbalut pakaian dalam. Hina menghempaskan tubuhnya di atas sofa, menutup matanya dengan satu lengan, sedang lengan yang lain berbantal perut ratanya.

Tak ia hiraukan hawa dingin pagi hari yang menusuk tulang, Hina terlalu lelah, sampai tak butuh waktu lama untuknya terlelap, menjelajah alam mimpi. Tak ia hiraukan juga adzan yang berkumandang, sebab ia bahkan sudah lupa apa yang musti dirinya lakukan bila alunan lafadz yang begitu merdu itu mulai terdengar.







Pandeglang,
28 August 2020

Manuskrip Perjalanan Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang