10

209 21 2
                                    

🦋🦋🦋

"Coba perhatikan penjelasan yang ada di paragraf ke dua halaman 67, di sana dijelaskan kalau untuk menentukan nila X adalah dengan cara--

Penjelasan Ihsan langsung terpotong ketika terdengar suara ketukan dari pintu kelas. Ihsan yang tengah berdiri di depan papan tulis menoleh ke arah pintu dengan sebelas alis terangkat naik.

"Masuk." Ujar pria berkacamata tersebut.

Kemudian, terdengar suara kenop pintu yang dibuka, daun pintu berwarna cokelat itupun terdorong ke dalam, di ambang pintu nampak dua orang siswi berseragam rapi menatap takut padanya.

Ihsan mengerutkan kening, menatap kedua gadis itu dengan pandangan aneh.

"Permisi, Pak.. maaf kami terlambat." Ujar salah satu siswi yang berambut pirang.

"Kenapa kalian terlambat?" Tanya Ihsan.

Vika dan Hina, dua gadis itu melangkah memasuki kelas dengan perlahan, untuk kemudian berdiri menghadap Ihsan.

Pria berkacamata tersebut bersidekap di hadapan keduanya, tubuhnya menjulang tinggi, dua gadis yang tertunduk di depannya tampak seperti kurcaci.

"A..anu Pak, kita salah naik angkot. Tapi jangan hukum kita ya Pak, tadi kita udah di hukum kok sama petugas BK. Bersihin toilet, makanya telat satu pelajaran." Papar Vika, terdengar seperti alibi.

Ihsan rasanya ingin tertawa, merasa lucu dengan penuturan gadis berambut pirang ini. Sudah terlambat, nawar untuk tidak dihukum pula. Kalau bisa ia mengungkit, rambut yang dicat juga bawahan seragam yang terlalu pendek itu sudah cukup untuknya kembali mendapat hukuman.

Namun Ihsan terlalu malas bertele-tele, malas menghadapi hal merepotkan seperti itu. Akhirnya mau tak mau, pria itu mengangguk dan mempersilahkan kedua gadis itu duduk di tempat mereka.

Namun saat gadis bermata bulat yang ada di samping Vika melewatinya, Ihsan tak bisa untuk tidak menahan napasnya. Pandangan mereka sekilas bertemu, bibir tipis gadis itu menarik senyum separuh dengan tatapan penuh arti. Kemudian, gadis itu berlalu, duduk di tempatnya di sudut ruangan.

🦋🦋🦋

Vika meletakan tas kecilnya di atas meja, ia menghela napas gusar. Walau melewati satu mata pelajaran akibat menjalani hukuman karema terlambat, untungnya dipelajaran berikutnya Pak Ihsan tidak memperpanjang masalah keterlambatan mereka.

Ini semua karena baik Vika maupun Hina yang terlambat bangun, usai cek out dari hotel, mereka harus berburu waktu untuk sampai ke rumah masing-masing, lalu bersiap pergi ke sekolah.

"Gila, gue nggak bisa tidur tau gara-gara cerita lo semalem." Ujar Vika kecil.

Hina, gadis bermata bulat itu tengah menenggelamkan wajahnya di kedua lipatan tangan. "Apalagi gue! Hampir tiap hari gue liat dia ngikutin gue coba. Gimana gue nggak parno? Untung gue peka, gimana kalo sampe dia ngikutin gue atau lo ke rumah pas malem?" Hina mendelik ke arah Vika.

Gadis berambut pirang di sampingnya menghela napas, "Tapi lo yakin dia ngikutin lo? Bisa ajah kan cuma kebetulan?"

Hina berdecak kecil, "Eh gue nggak sebego itu juga ya sampe gak bisa bedain mana kebetulan dan mana settingan. Gue tau tu orang emang ada niat yang nggak-nggak sama gue." Ia menggeleng tak habis pikir.
Kemudian, Hina mengangkat wajahnya. Matanya melirik Vika yang kini tengah sibuk menulis materi di depan papan tulis.

Walau 'nakal', soal sekolah baik Vika maupun Hina tak pernah main-main. Meski tak pernah mendapat peringkat terbaik, namun sebisa mungkin keduanya terus menjaga nilai mereka agar tetap baik.

Lagipula, mereka juga punya impian. Sama seperti remaja pada umumnya.

"Ah, bodo deh. Semoga ajah dia nggak ngikutin gue lagi." Dengus Hina, lalu mulai mengeluarkan buku dan ballpoint nya.

Padahal kalau memang laki-laki itu ingin bermain dengannya, mudah saja. Cukup datangi ia, bicara terus terang, dan Hina akan senang hati menawar harga untuk permainan mereka.

🦋🦋🦋

Hinari berjalan menuju kantin bersama Vika, jam istirahat sudah dimulai. Gadis bermata bulat dengan rambut hitam semampai itu, menyedot susu stoberi kesukaannya yang ia beli tadi di vending machine dekat tangga menuju kelasnya.

Matanya menatap sekitar, siswa-siswi tampak sibuk bercengkrama dengan teman mereka. Ada yang berkumpul di kursi pinggir lapangan, menyoraki sekelompok siswa yang asik bermain bola, siswa pintar yang sibuk berkumpul di perpustakaan untuk mempelajari kembali materi yang telah diajarkan, atau yang sedang berdiskusi dengan guru di depan ruang kantor.

Gadis bermata bulat itu melirik sahabatnya yang tengah menikmati permen lolipop rasa mangga di sampingnya. Kalau ditanya apakah ia memiliki teman lain selain Vika, Hina hanya akan menjawab tidak tahu.

Entahlah, Hina bukan tipe yang mudah bergaul dengan siapa saja, beberapa temannya bisa dibilang hanya kenal nama saja. Ia juga bukan siswi populer, bukan pula siswi pintar kebanggaan para guru. Di sekolah, Hina cenderung pendiam dan tak banyak tingkah. Beberap siswa dan siswi yang mengenalnya tahu karena beberapa alasan, salah satunya wajah Hina yang katanya cantik bak tuan putri.

Hina tak bisa memungkiri hal tersebut, ia sendiri-pun sering tak percaya dengan kecantikan dan kemolekan wajah dan tubuhnya. Mata bulat yang bila tersenyum bak bulan sabit, hidung mancung namun mungil, bibir ranum, kulit putih dan tubuh mungil, bulu mata lentik, alis yang terbentuk sempurna, dan proporsi wajah yang seimbang antara sisi kiri maupun kanan. Karenanya, tak sedikit siswa yang datang untuk menyatakan ketertarikannya, beberapa siswa adalah murid populer, dan karena itu nama Hina jadi sering menjadi perbincangan warga sekolah.

Menjadi pusat perhatian tak membuat Hina sontak memanfaatkan keadaan untuk menjadi siswi populer. Entah mengapa, Hina lebih nyaman menjadi siswi biasa, tanpa embel-embel terpopuler, tercantik, atau ter-ter-ter lainnya yang sering para warga sekolah sematkan padanya.

Karena yang Hina inginkan dari kehidupan sekolahnya ini hanyalah menjalaninya dengan 'normal'. Sudah cukup kehidupan pribadinya yang penuh duri, masalalunya yang kelam, dan dunia malam yang tak seindah harapan.

Hina dan Vika mulai berjalan melewati mushola sekolah. Banyak siswa siswi maupun guru yang datang ke tempat ibadah itu untuk melaksanakan sholat sunnah dhuha. Ini waktu yang pas untuk melaksanakannya.

Mata Hina memperhatikan satu persatu orang-orang yang berlalu lalang di pintu masuk mushola, ada satu orang yang berhasil membuat ia menghentikan laju langkahnya.

Tubuh tinggi dan punggung tegap seseorang itu dapat ia kenali dengan mudah siapa pemiliknya. Pria yang beberapa hari ini mengganggu pikirannya dan sering membuatnya uring-uringan. Bibirnya yang tak banyak bicara, sikapnya yang cuek, dan pemikirannya yang tak bisa Hina tebak, pria itu sukses membuat benak Hina berkecamuk hebat. Hanya untuk memikirkan pria itu.

Tatapan sendunya, suara rendahnya, dan wajah yang tak bisa Hina pungkiri sangat tampan itu, kini tengah berjalan masuk menuju pintu mushola. Wajahnya basah terbasuh air wudhu, kemejanya digulung sampai siku, dan dapat Hina lihat dengan jelas bulu kaki milik pria itu karena ujung celana yang dilinting ke atas.

Ada sesuatu yang bergejolak dalam dadanya melihat pemandangan tersebut. Sesuatu itu berdesir hangat menyambut hatinya.

Genggamannya pada kotak susu rasa stoberi di tangannya mengerat, tanpa Hina sadari ia tengah menahan napas.

Bahkan, sampai suara Vika yang memanggil namanya-pun tak membuat Hina sadar dari keterpakuannya. Matanya terus tertuju pada punggung tegap pria itu, yang bahkan sudah hilang di balik pintu mushola.

Hina menggigit bibir dalamnya kuat-kuat.

Perasaan macam apa ini?









#MOSITIDAKPERCAYA

Pandeglang,
10 Oktober 2020

Manuskrip Perjalanan Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang