25

837 113 10
                                    

"Jaga ya mulut lo!" gue udah nggak bisa nahan emosi lagi.

Gue paling nggak suka ada cowok yang mulutnya kaya cabe kalo ngomong. Di mana-mana nggak pernah tuh gue ketemu temen kaya gini. Dan selama gue nikah pun orang tua gue nggak ada yang curiga kalau di antara gue sama Kai ada yang mandul. Tapi bukan berarti kita nggak cek, kita cek kok ke dokter, dan emang nggak ada yang mandul. Kita normal, emang belum dikasih aja.

Tanpa mempedulikan Marko lagi, gue langsung pergi. Nafsu makan gue juga ilang. Udah nggak selera lagi gue liat makanan. Udah kenyang ngadepin Marko yang nggak tau sopan santun itu.

"Lo dari mana Tal?" tanya Vika yang ternyata udah di ruangan.

"Dari pantry." jawab gue singkat sambil mendudukkan pantat di kursi.

Gue mencoba menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskan perlahan. Berusaha meredam emosi. Karena baru kali ini ada orang yang berhasil memancing emosi gue secepat ini. Tiap hari Marko ke sini gue masih bisa menghadapi dengan kepala dingin. Tapi kali ini dia udah keterlaluan. Dia nggak tau atau emang bego, masa se-nggak tau itu tentang efek yang bakal didapat dari pertanyaannya tadi?

"Lo kenapa si Tal?" Vika yang baru selesai memoles lipstik langsung mendekatkan kursinya ke arah gue.

"Biasa, Marko."

"Ngapain lagi tuh orang?" tanya Vika yang udah paham banget tentang kelakuan Marko.

"Biasa, bikin gue emosi mulu." jawab gue sekenanya.

"Ya udah biarin aja, udah susah emang orang kaya gitu."

***

Sampai pulang ke rumah pun gue masih emosi setiap inget pertanyaan Marko tadi siang. Gue sampai susah memejamkan mata. Sial. Gue nggak bisa membiarkan Marko ganggu gue terus. Gue nggak akan bisa tenang kerja kalau kaya gini.

Gue melihat ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul setengah 11 malam saat mendengar suara mobil memasuki halaman rumah. Ngga lama setelah itu Kai masuk ke dalam kamar dengan senyum lelahnya.

"Tumben belum tidur?" tanya Kai yang langsung berjalan ke arah gue dan mengecup dahi gue.

"Belum bisa tidur mas." gue akhirnya duduk di tepi ranjang sambil memperhatikan Kai yang tengah melepas kemejanya.

"Mau aku siapain air hangat nggak mas?" tanya gue saat Kai udah bersiap ke kamar mandi.

"Nggak usah, kamu siapin aku makan aja ya."

Setelah itu gue langsung menuju ke dapur untuk membuat nasi goreng. Kalau udah malem begini emang udah nggak ada makanan. Karena seringnya Kai udah makan di kantor. Makanya gue juga nggak mempersiapkan makan malam khusus untuk Kai.

"Wangi banget." Kai mendekat ke arah gue dan mengecup kepala gue agak lama saat gue masih sibuk mengaduk nasi yang sebentar lagi siap disajikan.

"Nggak papa kan mas makan nasi goreng? Udah nggak ada makanan soalnya." gue meringis ke arah Kai, takutnya Kai nggak suka gue buatin nasi goreng.

"Ya nggak papa dong sayang, apapun yang kamu masak pasti aku suka." Kai mengacak rambut gue sebelum akhirnya mendudukkan dirinya di kursi sambil memperhatikan gue yang tengah memasukkan nasi goreng ke atas piring.

"Mau kopi atau teh mas?" gue meletakkan sepiring nasi goreng di depan Kai.

"Pengennya si kopi biar bisa begadang sampai pagi." ucapan Kai berhasil membuat pipi gue memanas. Meskipun udah sering melakukannya, tapi setiap kali Kai ngomong kaya gitu gue pasti langsung tersipu malu. "Tapi kayanya kamu cape,"

LIMERENCE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang