Liburan yang gue udah rencanain akhirnya gagal juga. Karena setelah itu gue memaksa Rafael untuk langsung pulang ke Jakarta. Gue nggak akan pernah bisa lagi menikmati keindahan laut sedangkan jauh di sana Bryan sedang melawan penyakitnya. Percuma juga gue liburan kalo di pikiran gue cuma ada bayangan Bryan yang kesakitan melawan penyakitnya.
Setiap mau tidur, bangun tidur, dan saat melamun satu yang gue pikirkan. Apa yang sedang Bryan lakukan di sana, apa dia udah sembuh? Kenapa udah dua bulan belum juga ada kabar. Bahkan rumahnya juga kosong, tante Winda dan on Ryan juga udah di Singapura terus. Gue sama sekali nggak boleh untuk ke sana meskipun gue pengen.
Gue cuma bisa mendengar kabar dari Kai. Saat ini, gue sedang nunggu kedatangan Kai yang tadi malem baru aja pulang dari Singapura. Dia udah dua kali ke sana dan gue cuma bisa mendapat kabarnya tanpa boleh datang langsung ke sana. Gue bahkan bener-bener nggak dikasih fotonya Bryan sekarang. Dulu selama satu bulan pertama tante Winda selalu mengirim foto Bryan setiap hari, bahkan setiap kegiatan dia selama seharian bakal dikirim ke gue. Dan gue juga hampir tiap hari video call sama dia.
Dan waktu terakhir Bryan video call dia bilang, "Tal, gue pengeeen banget sembuh biar bisa cepet ketemu lo. Jadi mulai besok gue bakal jarang ngabarin lo. Gue akan fokus berjuang biar bisa cepet pulang. Makanya lo nggak usah khawatir sama gue, lo cukup doain gue dan gue bakal sembuh pas gue pulang nanti. Gue janji."
Dan setelah dia mengatakan seperti itu gue agak lega karena gue jadi keinget terus sama senyuman dia. Dia keliatan bahagia? Entahlah, tapi gue merasa agak tenang setelah dia ngomong kaya gitu.
"Sori ya tal, lama." suara Kai berhasil membuyarkan lamunan gue.
"Gimana keadaan Bryan?" tanya gue langsung.
"Udah mendingan, kemoterapi nya juga lancar. Dia cuma nitip salam buat lo, dan dia janji bakal cepet pulang." jelasnya.
Senyum gue langsung mengembang begitu saja setelah mendengar kabar dari Kai. Dia juga ikut tersenyum tipis ke arah gue.
"Cantik." gumam Kai yang membuat seketika membuat senyum gue hilang dan mengalihkan pandangan gue darinya. "Bryan bilang lo cantik kalo lagi senyum, makanya dia pengen lo senyum terus kaya gini. Dia nggak mau liat lo khawatirin dia terus."
"Gue kangen banget sama dia, tapi gue lega setelah denger kabar dari lo. Makasih Kai." gue menyunggingkan sebuah senyum tulus ke Kai. Dan untuk pertama kalinya juga setelah sekian lama gue bisa tersenyum seperti ini untuk dia lagi.
"Gue juga kangen." Kai menatap gue dalam. "Kangen sama kebersamaan kita, kangen sama bacotnya Bryan, kangen sama cerewetnya ital kecil. Kangen sama semuanya. Andai saja kita masih kaya dulu pasti gue bakal--"
"Kai.." potong gue. "Mungkin ini yang terbaik buat kita. Gue jadi tau kalo emang gue, lo, sama Bryan udah ditakakdirkan untuk menjadi sahabat."
Kai nggak menanggapi kata-kata gue dia hanya terdiam dan menundukkan kepalanya. Gue nggak tau apa yang sedang dia pikirkan. Tapi mungkin emang gue sama Kai nggak ditakdirkan untuk bersama. Dan gue udah ikhlas kalo emang Kai bukan takdir gue.
"Gue pulang dulu Kai." pamit gue karena emang udah nggak ada topik yang dibahas lagi.
"Tal tunggu." Kai menahan tangan gue dan membuat gue kembali duduk di depannya.
"Maafin gue. Maaf kalo selama ini gue jahat banget sama lo. Gue selalu nyakitin lo dan nggak semestinya gue ngomong kaya gitu ke lo dulu."
Gue bisa melihat ketulusan Kai yang meminta maaf sama gue. Senyum gue langsung mengembang, hati gue menghangat saat dia meminta maaf sama gue. Mungkin ini yang gue tunggu-tunggu selama ini. Permintaan maaf Kai.
KAMU SEDANG MEMBACA
LIMERENCE (END)
FanfictionMemperjuangkan sesuatu yang sudah menjadi milik orang memang tidak mudah