17

1.2K 199 13
                                    

"Iyan jangan, itu punya Ital, Iyan nggak boleh ambil." 

Waktu itu gue baru berumur 7 tahun. Gue, Bryan, Kai, lagi main di taman dekat rumah. Tapi Iyan dengan jailnya ngambil mangkuk kecil yang berisi tanah yang gue anggap sebagai semangkuk nasi.

"Masak-masakan itu nggak asik. Mending main petak umpet aja yuk?" Bryan masih nggak puas hanya mengambil mangkuk dengan isi tanah liat itu dari gue, dia lalu menumpahkannya dan melempar mangkuk kecil itu ke arah gue.

"Iyan nakaaaaalll..!!!" dengan kesal gue mengambil mangkuk kecil itu yang udah kosong dan kembali mengisinya dengan tanah liat.

"Bryan Tal, bukan Iyan." Kai datang dan memberi gue satu cup jus alpukat. "Nih minum biar seger."

Gue dengan senang hati langsung menerima cup itu dan meminumnya, "Makasih Kai."

"Dasar anak kecil." Bryan memeletkan lidahnya ke arah gue. "Udah yuk Kai kita pergi aja, nggak asik main sama Ital."

"Kai sini aja sama Ital, Iyan nggak boleh, Iyan pergi aja." gue sedikit mendorong tubuh Bryan supaya dia pergi.

"Udah udah nggak usah bertengkar. Ital sini aja main masak-masakan. Aku sama Bryan main petak umpet sama yang lain di sana." Kai menunjuk ke arah teman-temannya yang sedang asik bermain petak umpet.

Gue lalu mengerucutkan bibir gue, nggak rela kalau Kai harus main sama teman-teman yang lain. Gue maunya Kai main masak-masakan aja di sini bareng gue.

"Ya udah iya." Kai mengacak Puncak kepala gue sambil tersenyum. "Udah sana Yan, kamu main aja sama temen-temen. Aku nemenin Ital di sini."

*

Gue tersenyum saat melihat foto gue, Kai sama Bryan yang ada di taman bermain. Saat itu tante Winda yang datang untuk menjemput Bryan dan kita akhirnya di suruh berdiri di dekat perosotan yang adadi taman.

Dulu, di antara kita bertiga Kai lah yang paling bisa diandalkan. Dia yang selalu melerai saat gue sama Bryan bertengkar. Bahkan sampai SD pun gue sama Bryan masih sering bertengkar. Dan selalu gue yang kalah dan berakhir menangis. Tapi Kai selalu nenangin gue dengan membawakan gue permen karet karena gue dulu suka banget sama permen karet.

"Tal, lo dengerin gue nggak sih?!" Nadia yang kini udah menyenderkan tubuhnya di kepala ranjang berhasil menyadarkan gue dari lamunan.

"Eh sorry, gimana tadi?" gue hanya bisa menggaruk kepala pas ngeliat muka Nadia yang udah kesel.

"Ngelamunin apa sih lo gue ajak ngobrol dari tadi nggak nyambung." Nadia masih memasang muka galaknya.

"Hehe sorry Nad, nggak konsen gue." Gue berjalan dan ikut menyandarkan tubub gue di samping Nadia. "Ngomong apa tadi?"

Nadia memutar bola matanya malas, "Udah ah percuma ngomong sama lo. Mending gue tidur aja." Nadia langsung bersiap tidur karena jam memang udah menunjukkan pukul 11 malam.

Gue juga akhirnya beranjak untuk mematikan lampu kamar, hanya membiarkan lampu tidur yang ada di kedua sisi tempat tidur menyala. Setelah itu gue memposisikan diri gue untuk tidur di samping Nadia.

"Nad, lo udah tidur?" gue memiringkan badan gue dan menatap ke Nadia yang masih memejamkan matanya sambil tidur terlentang. Nadia masih nggak menjawab. Tapi gue tetep aja melanjutkan, meskpun Nadia nggak menjawab seenggaknya gue bisa tidur setelah mengutarakan ini. "Keputusan gue untuk memilih Kai benar kan Nad? Kadang gue mikir kenapa gue nggak memilih Rafael aja yang jelas-jelas sayang sama gue. Tapi kayanya gue egois kalau beneran milih Rafael."

LIMERENCE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang