"Nadia?!" gue terkejut saat melihat Nadia yang berjalan ke ruang tamu.
Nadia tersenyum ke arah gue. Bukan senyum yang biasa dia singgingkan, tapi dia tersenyum sinis ke arah gue. Bulu kuduk gue langsung berdiri. Kai malah terlihat biasa aja.
"Tante tinggal ke dapur dulu ya Nadia. Ngobrol aja dulu sama Kristal sama Kai."
sepeninggalan Mama ke dapur, Nadia berjalan ke arah gue. Dia menatap gue tajam. Entahlah gue nggak tau apa yang sekarang ada di pikirannya. Tapi jelas pada raut wajah Nadia begitu marah.
"Gue nggak tau harus merespon seperti apa. Gue terlalu kecewa sama lo." Nadia lalu menatap Kai. "Selat Kai, lo berhasil deket sama Kristal lagi." setelah itu Nadia berjalan meninggalkan gue yang mematung ditempat.
"Nadia tunggu!" gue berusaha smengejar Nadia yang sudah keluar rumah.
"Nad, dengerin gue dulu. Gue bisa jelasin semuanya." gue berhasil memegang tangan Nadia, tapi langsung dia tepis.
"Jadi dia tunangan brengsek lo itu?"
"Nad, dengerin gue dulu."
"Nggak perlu. Kayanya gue cukup tau semua cerita lo sama tunangan lo itu. Kai deketin gue cuma karena pengen deket sama lo kan?"
"Nad-"
"Udahlah Tal, nggak perlu lo jelasin apapun. Semuanya udah jelas." Nadia langsung pergi ninggalin gue yang udah menangis di depan rumah.
Segitu jahatnya ya gue? Dengan sekejap gue kehilangan seorang sahabat hanya kareba cowok. Hebat banget Kai, bukan hanya nyakitin hati gue, tapi dia juga nyakitin Nadia, dia bikin persahabatan gue hancur dalam sekejap.
"Tal, biarin Nadia tenang dulu. Dia perlu-"
"Mending lo pulang Kai, gue lagi pengen sendiri."
*
Salah satu hal yang sangat gue benci di dunia ini adalah berada di situasi yang canggung. Dan gue udah menjalani masa canggung gue sama Nadia yang masih belum mau ngomong ke gue sampai saat ini. Udah dua bulan lamanya dia nggak mau ngobrol sama gue. Dan itu sangat menyika gue. Gue nggak ada temen ngobrol lagi di kelas. Bryan belum pulang juga sampai saat ini, dan gue sama sekali nggak pernah dapet kabar dari tante Winda. Kai juga udah nggak ke Singapura lagi. Nadia, satu-satunya temen yang bisa gue ajak ngobrol mengenai banyak hal akhirnya juga menjauhi gue.
"Udah nggak usah dipikirin. Nadia masih butuh waktu buat nenangin pikirannya."
Satu-satunya orang yang selalu mengerti gue saat ini hanya Rafael. Cuma dia yang bisa ngertiin gue. Cuma dia yang menemani gue tiap harinya. Dia juga yang menjadi tempat gue berkeluh kesah. Karena gue juga sebisa mungkin menghindari Kai. Gue nggak marah sama dia, cuma gue harus menjauh karena gue nggak mau Nadia salah paham sama gue.
Gue cuma balas tersenyum ke arah Rafael.
"Ya udah pulang yuk, udah sore." gue mengangguk dan langsung mengikuti Rafael untuk menuju parkiran.
Kebiasaan baru gue yaitu membaca buku di perpustakaan. Karena gue nggak sanggup lama-lama di rumah. Pikiran gue selalu tentang Bryan kalo gue lagi di kamar. Dan Nadia, dia salah satu yang membuat gue menjadi begini. Gue merasa sangat bersalah.
Gue akan datang pagi-pagi ke kampus meskipun kuliah gue siang, gue ke sana membaca buku apa aja yang bisa membuat gue lupa sama semuanya. Rafael selalu nemenin gue sampai sore. Kaya hari ini, meskipun dia hanya diam di samping gue atau dia tidur karena terlalu bosan. Tapi dia tetep kekeh nemenin gue baca buku di perpustakaan.
"Makasih ya kak." kata gue setelah sampai di depan rumah. Rafael ikut turun dan mengantar gue sampai di depan gerbang.
"Tal," gue mengurungkan niat buat membuka gerbang. Gue menatap Rafael dengan alis terangkat. Tapi dia cuma diem.
KAMU SEDANG MEMBACA
LIMERENCE (END)
FanfictionMemperjuangkan sesuatu yang sudah menjadi milik orang memang tidak mudah