Gue terbangun ketika merasa tubuh gue seperti melayang. Gue membuka mata perlahan. Dari sini gue bisa liat wajah Kai dari bawah yang tengah menggendong tubuh gue. Setelah sampai di kamar, Kai meletakkan tubuh gue di tempat tidur. Gue kembali memejamkan mata, gue nggak mau Kai tau kalau gue ternyata udah bangun.
Bisa gue rasakan Kai duduk di tepi ranjang. Gue menahan air mata gue saat tangan Kai membelai lembut pipi kiri gue. Nggak begitu lama gue lagi-lagi merasakan bibir Kai mengecup dahi gue, kali ini agak lama.
"Maafin aku nggak bisa menepati janji." ucapnya, setelah itu Kai menutupi tubuh gue dengan selimut.
Saat gue merasakan Kai yang akan beranjak, reflek gue menahan tangannya lagi, "Dari mana?" tanya gue dengan nada serak.
Kai membalikkan badannya dan menatap gue, "Aku liat kamu nggak nyaman tidurnya makanya aku pindahin kamu ke kamar."
"Aku tanya kamu dari mana?" suara gue semakin meninggi karena Kai berusaha mengalihkan pembicaraan.
Gue menyibak selimut yang menutupi tubuh gue dan duduk di tepi ranjang. Menatap Kai tajam untuk menuntut jawaban jujur darinya. Gue cuma mau dia jujur, kalau emang dia beneran ketemu Fasya, oke, nggak masalah. Tapi seenggaknya dia mau jujur dulu sama gue.
"Ketemu Fasya." jawab Kai lirih sambil menatap gue.
Air mata gue menetes begitu saja setelah Kai menyebut nama Fasya. Seperti ada batu yang menghantam dada gue, sesak. Nggak, gue nggak cemburu. Gue cuma merasa dibohongi. Apa dia menganggap perjodohan ini main-main setelah kemaren gue memutuskan untuk lebih melanjutkan perjodohan ini? Gue melepaskan Rafael demi Kai, tapi dia masih aja ketemu sama cewek lain. Mungkin kalau bukan Fasya gue bakal baik-baik aja, tapi ini enggak. Gue nggak bisa mentolerir kalau Kai beneran melakukan itu sama Fasya.
"Salah besar gue ninggalin Rafael demi lo." gue tersenyum sinis ke arah Kai dengan air mata yang masih terus mengalir.
"Tal, aku bisa jelasin."
"Gue nggak butuh penjelasan lo, sekarang juga lo keluar dari kamar gue." gue mengalihkan tatapan gue dari Kai.
"Ini nggak seperti apa yang kamu pikirin tal." Kai mencoba meraih tangan gue tapi langsung gue tepis.
Mau sampai kapan pun nggak bakal Kai berubah. Gue emang udah salah pilih. Nggak seharusnya gue ninggalin orang yang gue sayang demi Kai yang nyatanya nggak bisa berubah. Kai tetap Kai, dulu maupun sekarang sama aja brengseknya.
"Keluar!" gue mendorong tubuh Kai untuk keluar dari kamar gue dan mengunci pintu kamar setelahnya.
Tangis gue pecah seketika, badan gue terduduk di lantai yang entah kenapa malam ini terasa begitu dingin. Gue nangis sejadi-jadinya.
Gue benar-benar menyesal karena udah milih Kai. Kenapa nggak gue terima lamaran Rafael aja waktu itu? Apa ini karma buat gue karena udah nyakitin Rafael? Gue melepaskan orang yang sangat mencintai gue demi orang yang hanya bisa nyakitin hati gue.
***
Paginya gue udah nggak liat Kai di rumah gue. Mungkin semalem dia langsung pulang ke rumah. Bagus deh, karena gue belum siap ketemu dia lagi hari ini. Mata gue bengkak, semalem gue bahkan nggak tau tidur jam berapa. Saking lamanya gue nangis sampai-sampai gue ketiduran.
Dan rencananya hari ini gue mau ke rumah Nadia. Gue mau ngajak dia ke salon. Abis itu keliling mall. Biar suasana hati gue bisa kembali membaik. Tapi pas gue liat pantulan wajah gue di cermin, mata gue benar-benar bengkak. Gue harus nunggu beberapa jam lagi biar mata gue kembali normal. Mungkin siangan gue perginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LIMERENCE (END)
FanfictionMemperjuangkan sesuatu yang sudah menjadi milik orang memang tidak mudah