27

1.5K 127 7
                                    

Setiap orang memiliki bahagianya masing-masing. Ada yang bahagia dengan anak-anaknya tanpa suami, ada yang bahagianya lengkap dengan anak dan suami, ada juga yang bahagia hanya hidup bersama suami. Seperti halnya gue sama Kai.

Sebulan yang lalu, gue udah ngobrol banyak sama Kai. Dan kita sepakat untuk hidup bahagia tanpa memikirkan lagi bagaimana caranya kita agar cepat memiliki momongan. Bukan karena kita nggak mau punya anak, tapi jujur, gue capek banget berobat ke sana ke sini, makan ini itu. Tapi gue tetep usaha layaknya sepasang suami istri, dan tentu saja do'a. Karena kita yakin, jika memang Allah sudah mengizinkan pasti bakal dikasih. Dokter juga bilang nggak ada yang salah di antara gue sama Kai. Jadi gue percaya suatu saat pasti gue bisa hamil dan punya anak.

Untuk orang-orang yang selalu menanyakan kapan gue hamil, gue nggak marah sama mereka. Gue juga udah terbiasa dengan pertanyaan seperti itu. Sekarang gue udah bisa legowo kalau aja ada orang julid ngomongin gue. Karena balik lagi, gue nggak mau membuat diri gue sendiri terbebani. Biarkan mereka ngomongin apa tentang gue, gue nggak lagi mempermasalahkan semuanya.

"Tumben nggak ada yang ke sini lagi?" tanya Vika yang udah sibuk membereskan pekerjaannya.

Marko, sejak pertemuan dia sama Kai waktu itu, Marko udah nggak pernah lagi deketin gue. Kalau ketemu juga dia sama sekali nggak pernah nyapa gue. Jujur aja gue lega banget karena gue nggak perlu repot-repot make urat buat marah-marah sama dia.

"Alhamdulillah dong Vik. Gue malah takut nanti anak gue kaya dia." gue bergidik ngeri sambil mengusap perut gue.

"Tal, lo udah isi?!" tanya Vika dengan semangat.

"Belum Vik."

"Terus ngapain ngelus perut?!" Vika memutar bola matanya membuat gue ketawa ngakak.

Gue juga baru tau, kalau bukan cuma gue yang mengharapkan kehadiran seorang anak. Ada keluarga gue, sahabat gue, dan orang-orang terdekat yang juga selalu berdoa dan berharap besar sama gue. Dan gue selau berdoa, semoga harapan kita semua bisa segera dikabulkan.

"Anak itu titipan Vik, gue nggak masalah kok kalau emang belum dikasih. Yang penting gue minta doanya dari lo."

"Iya siap, pasti gue doain. Jangan lupa juga berusaha lo."

"Kalo usaha si nggak usah ditanya." gue mengedipkan mata ke arah Vika.

"Mesum lo!"

"HAHAHAHA"

***

Hari ini gue pulang agak malem, sekitar pukul 8 gue baru sampai rumah. Gue juga udah ijin sama Kai bakal pulang telat. Tapi gue nggak tau kalau ternyata Kai pulang duluan. Saat gue baru masuk ke rumah, gue langsung disambut dengan bau harum yang langsung membuat perut gue bunyi. Gue buru-buru ke dapur dan mendapati Kai yang saat ini tengah sibuk memasak. Gue yakin Kai pulang kerja langsung masak, karena dia masih pakai hem pitih dengan lengan yang ditekuk sampp siku.

"Mas?" gue mempercepat langkah gue dan langsung memeluk tubuh tegap Kai dari belakang.

"Aku belum mandi loh yang." Kai terkekeh sambil tangan satunya mengusap punggung tangan gue yang melingkar di perutnya.

"Nggak papa, aku suka kok baunya."

Gue nggak bohong, gue bener-bener suka sama bau parfum Kai yang bercampur dengan keringatnya. Baunya bahkan lebih harum dari parfum yang Kai pakai.

"Kamu nggak mau mandi dulu?" tanya Kai lagi setelah gue melepaskan pelukannya dan ikut menyiapkan masakan yang sudah dimasak.

"Nanti aja mas, aku udah laper banget."

LIMERENCE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang