"Kamu ngapain di sini Tal?" Kai tanpa mempedulikan Tari langsung mendekat ke arah gue, dan gue langsung membebaskan diri dari Marko.
"Mas aku bisa jelasin, ini nggak seperti yang kamu liat." sumpah gue takut banget karena muka Kai datar banget.
Kai menatap ke arah Marko sebentar sebelum tatapannya kembali ke gue, "Abis ketemu klien ya?" tanya Kai lagi seolah tidak terjadi apa-apa sekarang.
Tapi kenapa gue malah takut?
"Iya mas sekalian makan siang." jawab gue akhirnya, sepertinya Kai emang nggak mau bahas sekarang. Sumpah deg-degan banget liat Kai biasa aja.
"Aku anter pulang ya." Kai menggandeng tangan gue.
"Pak, saya gimana?" tanya Tari dan membuat langkah kita terhenti.
"Minta anter pacar kamu. Saya mau anter istri saya dulu."
Gue mengikuti langkah besar Kai dengan perasaan takut. Kai pasti tau kalau tangan gue udah dingin banget. Gue takut Kai sekarang biasa-biasa aja tapi ujung-ujungnya dia marah sama gue. Siapa sih yang nggak cemburu melihat istrinya dirangkul lelaki lain?
Kalau aja gue liat Tari godain Kai di depan mata kepala gue sendiri, gue nggak yakin gue nggak akan cemburu. Padahal gue udah tau kalau Kai nggak akan tergoda. Tapi tetep aja gue bakal marah.
Suasana si dalam mobil membuat gue makin takut karena Kai cuma diem aja. Walaupun dia nggak menunjukkan kalau dia marah, tapi nggak mungkin kan dia biasa aja? Gue yakin Kai pasti marah sama gue.
"Mas, marah ya sama aku?" tanya gue was-was sambil terus memperhatikan wajah Kai.
Kai menatap gue sekilas sambil menyunggingkan senyumnya sebelum pandangannya kembali fokus ke jalanan. Tangan kiri Kai meraih tangan gue dan menggenggamnya erat. Gue masih deg-degan karena Kai belum menjawab pertanyaan gue.
"Aku nggak marah kok sayang, cuma kesel aja sama Marko." Kai mengecup tangan gue beberapa kali sebelum akhirnya melepaskan genggamannya untuk mengusap kepala gue.
"Kok mas tau Marko si?" perasaan gue sama sekali nggak pernah cerita soal Marko sama Kai. Atau jangan-jangan Vika?
"Kan mas punya mata-mata di kantor kamu." Kai terkekeh saat gue memicingkah mata ke arahnya. "Ternyata bener ya kata Vika, Marko itu ngebet banget sama kamu."
"Ish! Awas nanti Vika." gue melipat kedua tangan gue di depan dada.
"Abis ini kamu traktir Vika makan gih." saran Kai yang membuat gue menatapnya kesal.
"Kok malah ditraktir si?! Harusnya mas tuh yang bayar Vika karena udah jadi mata-mata."
"Kan berkat Vika juga aku nggak marah sama kamu. Kalau aku nggak punya mata-mata, liat kamu kaya tadi pasti udah mas ajak berantem tuh si Marko."
Senyum gue mengembang, rasanya lega banget karena Kai nggak marah sama gue. Padahal gue udah was-was banget tadi takut dia marah. Kai itu jarang banget marah. Malah nggak pernah marah sama sekali selama kita nikah. Paling cuma ngambek, itu aja gue kasih kiss langsung senyum lagi. Makanya gue takut kalau dia marah.
"Kenapa senyum-senyum?" tanya Kai saat melihat gue udah senyum-senyum kaya tai kucing.
Gue langsung menggandeng lengan Kai dan menyenderkan kepala gue di bahunya, "Seneng banget karena kamu nggak marah sama aku."
Seberuntung itu gue punya Kai.
***
Hari ini setelah jam istirahat gue langsung diseret buat ke kantin sama Vika. Kepo banget dia pas gue bilang ketemu Kai pas lagi sama Marko. Sebenernya dari kemaren Vika udah spam chat ke gue, bilang mau telfon juga. Cuma gue bilang besok aja, soalnya enakan cerita langsung dari pada lewat telefon apa lagi chat. Sebenernya si emang karena gue sengaja bikin Vika penasaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
LIMERENCE (END)
FanfictionMemperjuangkan sesuatu yang sudah menjadi milik orang memang tidak mudah