PART 21 : Pamit

792 186 23
                                    


“Ck, sekarang udah ada yang namanya handphone kalau lo lupa”

Balasan Dery setelah gue memberikan surat yang gue tulis semalam, sengaja gue tulis sebelum Dery berangkat ke China. Coretan yang sebenarnya gue tulis tujuh puluh persen dengan keyakinan dan tiga puluh persen lainnya ngarang.

Gue udah kayak buat karangan indah tugas bahasa indonesia. Agak menggelikan tapi mau nggak mau emang harus gue tulis.

“Dery udah sampai belum ya?”

“BARU DUA PULUH MENIT KITA CABUT DARI BANDARA YA ANJENG!” Emosi Lukas sambil nonyor kepala gue.

“Hm, oke sorry

Lukas mendesis kesal lalu merapat ke samping gue sambil menyenderkan kepalanya di bahu gue. Matanya sudah hampir terpejam sebelum dengan sengaja Ajun yang sedang menyetir mengijak remnya secara mendadak.

Lukas langsung terhuyung ke depan sambil mengumpat kasar dan menoyor kepala Ajun kesal.

“Ajun anjing” umpatan Lukas di sambut dengan gelak tawa Maraka yang duduk di samping Ajun.

Dan gue hanya bisa menghela nafas lelah, tiga tahun kedepan akan menghadapi ocehan nggak jelas Lukas tanpa Dery. Mendengar gelak tawa receh Maraka tanpa Dery. Mendengar curhatan galau Ajun tanpa Dery.

Satu lagi, jajan cilok depan kampus tanpa Dery juga.

Teringat dua puluh menit yang lalu saat tiba di bandara untuk mengantar Dery. Wajah ketiga cowok yang sedang bersama gue tadi sangat-sangat terlihat menyedihkan. Lukas dengan lebaynya merengek mencoba menahan Dery untuk tetap tinggal.

Maraka dengan senyum khasnya mencoba tetap merelakan Dery untuk pergi. Dan Ajun.....

“Der, gue kalau ada salah maaf dah ya. Muka lo sinis banget anjrit gue salah apaan sih?”

Dery tadi tertawa. “Jangan lo gangguin calon pacar gue” katanya sambil melirik gue. Emang sialan bikin gue salah tingkah aja.

Tapi sekarang, gue reflek tersenyum ketika membayangkan wajah Dery, mengingat tiap lelucon yang ia keluarkan. Semua tingkah Dery begitu membekas di ingatan gue.

Dan lagi-lagi gue cuma berharap semoga tidak ada kekecewaan yang mendalam setelah Dery membaca surat gue.





















“Harusnya udah sampai belum sih?” Gue menoleh, menatap tiga cowok yang sedang sibuk masing-masing di studio.

Maraka yang sedang memainkan gitarnya, sedangkan Lukas dan Ajun sedang bermain game bersama. Tidak memperdulikan gue yang dari tadi udah resah nunggu kabar dari Dery.

“Emang monyet lo semua”

Gue mendengus, memilih untuk menghidupkan televisi yang ada di studio. Mencoba menghilangkan suntuk sembari menunggu kabar dari Dery. Berusaha positif thinking, mungkin Dery sedang sibuk menyiapkan segala macam disana.

“Jakarta ke China berapa jam sih?” Gue menoleh, kali ini menyenggol lengan Maraka.

“Tujuh jam”

“Ini udah lebih”

“Sabar sih anjir, kangen banget lo?” sahut Lukas dengan kurang ajarnya yang langsung gue lempar bantal sofa di dekat gue.

“Lagian ya Yer, Dery tuh—”










BREAKING NEWS! Pesawat AIRSA 134 rute Jakarta-China hilang kontak.










Dery tuh bilang mau nitipin lo ke gue......” suara Lukas melemah bersamaan dengan gerakan gue yang langsung berlari keluar dari studio.

“YERA!”

Gue masih denger suara teriakan Mareka dan yang lain, tapi gue udah kalut dan takut. Gue takut, gue harap berita itu nggak bener.

Bukan Dery kan?

Dery pasti baik-baik aja.

Tapi nyatanya setelah gue berada di bandara dan membaca daftar nama penumpang pesawat itu, nama Dery tertulis disana.

“Kas.....,” Air mata gue sudah mengalir sejak tadi, gue menoleh menatap Lukas yang langsung memeluk gue erat. “Kas, Dery—”

“Dery pasti baik-baik aja”

“Dery....” Tangis gue makin keras sambil meremas kemeja Lukas. Maraka dan Ajun sedang berlarian mencari informasi tentang Dery.

“Lo tenang dulu Yer” Lukas mengusap punggung gue lembut mencoba menenangkan. Tapi nyatanya gue makin histeris ketika mendengar jika pesawat jatuh dan tidak ada korban yang selamat.

“DERY!!” Tangis gue pecah sambil terus menyebut nama Dery. Lukas masih mencoba menenangkan gue di saat dia sendiri juga kehilangan sahabat terbaiknya.

Maraka dan Ajun diam seribu bahasa menahan tangis. Atau mungkin tidak bisa melihat gue yang menangis histeris. Kekhawatiran gue selama ini terjadi, kehilang orang yang sangat berarti di hidup gue.

Dery, kalau nggak ada lo gue gimana?















-














“Udah bangun Yer?”

Gue mengerjapkan mata pelan, masih terasa berat ketika gue membuka mata. Kepala gue pusing dengan tenggorokan yang terasa tidak enak.

Apa gue nangis selama itu?

“Kas.....,” Gue berdeham pelan, menoleh menatap Lukas. “Dery—” ucapan gue terhenti begitu saja ketika Lukas menghela nafas dengan lelah.

“Masih belum tau Yer” jawaban dari Lukas membuat gue kembali lemas. “Kita berdoa aja, semoga Dery nggakpapa” katanya melanjutkan mencoba menenangkan gue dan dirinya sendiri.

“Ajun sama Maraka kemana?”

“Masih di bandara”

“Gue tadi pingsan?” Pertanyaan gue di balas anggukan oleh Lukas. Gue menghela nafas, menahan sesak yang kembali menyerang. Ingatan-ingatan tentang Dery kembali bermunculan di kepala gue.

Jelas, gue masih mengingat cara ia berpamitan sebelum pengumuman keberangkatan pesawat. Gue jelas ingat ucapan Dery waktu itu.

Iya, harusnya gue nggak kemakan sama gengsi sialan ini.







“Lo yakin nggak mau nahan gue?” Dery mengatakannya dengan jenaka waktu itu, “Sebenernya gue bisa aja sih nggak ke China, tapi lo terima gue dulu” katanya lagi yang saat itu gue balas dengan cibiran kesal.

“Berangkat aja sih anjir, drama lo”

“Awas lo kangen sama gue”

“Kayak nggak bakal balik lagi aja lo”

Dery hanya terkekeh sambil mengusap puncak kepala gue. “Doain semoga gue bisa cepet balik” katanya masih dengan senyum lebarnya.  “Tunggu gue!”













1999Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang