“Kampret lo bolos nggak ngajak-ngajak.” Lukas mendumel sepanjang koridor kampus setelah tau gue numpang tidur di kelas Hendery.
“Berisik lo Kas”
Lukas mencibir, menoyor kepala gue. Kesempatan mumpung nggak ada Maraka jadi nggak ada yang marahin dia. Tapi karena gue lagi sensi jadi gue balas toyoran kepalanya.
“Woi Arjuna mencari cinta”
Gue reflek menoleh ketika Lukas berteriak memanggil nama Ajun. Lukas memang paling ngeselin, gue lagi ngehindar dari Ajun bisa-bisanya dia tanpa dosa manggil Arjuna mencari cinta.
“Yera!” Ajun datang dengan nafas tersenggol, berdiri di depan gue mengabaikan Lukas yang memanggilnya tadi.
“Bangsat. Gue yang manggil lo tadi su!” umpat Lukas sampai menempeleng kepala Ajun. Gue cuma mendengus geli melihat dua orang di depan gue yang lagi adu mulut.
“Yer, gue mau ngobrol”
“Skandal apa lagi nih?” sahut Lukas dengan muka lawaknya. Ajun tidak menanggapi ucapan Lukas, masih menunggu jawaban dari gue.
“Gue mau ketemu Hendery” jawab gue bohong. Gue baru aja keluar dari kelasnya Hendery sebelum ketemu Lukas di koridor tadi.
“Sebentar Yer—”
“YERA KU SAYANGGGGGG” Gue reflek menoleh, melihat Hendery berlari di belakang gue sambil merentangkan tangannya. Terlihat sangat idiot.
“Tuh, Dery.” kata gue pada Ajun yang langsung menghela nafas panjang. Maaf, Jun gue beneran lagi males ngobrol sama lo.
“Mau kemana lo berdua?” tanya Lukas.
Gue menoleh. “Ngedate” jawab gue asal sambil menarik lengan Hendery dan berjalan cepat meninggalkan Ajun dan Lukas.
“WOI YERA CERITA LO SAMA GUE!” teriak Lukas protes. Gue tertawa mengejek, melambaikan tangan membuat Lukas semakin kesal.
Kapan lagi bikin Lukas kesel kan?
“Kenapa lo sama Ajun?” Hendery merangkul bahu gue sambil menoleh menunggu jawaban.
“Nggak ada sih. Gue lagi males aja sama dia” Jawab gue yang mendapat jitakan dari Hendery. Salah gue dimana? Emang titisan dakjal.
“Apaan anjir?”
Hendery mendecak sok banget. “Kita ini 1999, jangan sampai ada yang ribut. Job barengan terus, nanti malah awkward cuk” katanya yang hanya gue balas dengan anggukan dan dehaman malas.
“Si anying di bilangin juga” katanya lagi sepertinya agak kesal dengan jawaban seadanya dari gue.
“Enaknya makan apa ya Der?” tanya gue mengalihkan topik. Hendery langsung mendengus tapi tetap merangkul bahu gue.
“Nasi padang”
“Gas lah anjir” kata gue semangat dan membalas rangkulan di bahunya. Mengajak Hendery berlari menuju parkiran.
“Bangsat leher gue”
Ajun
Yer
ayo ngobrolChat dari Ajun itu berakhir gue abaikan selama satu jam lebih. Dan sialnya Ajun tetap maksa sampai menelpon gue di jam delapan malam tadi. Sekarang kita lagi ada di depan kosa gue, berdiri dengan kecanggungan.
Ajun berdeham, menyibak rambutnya ke belakang. Jujur aja, Ajun memang ganteng dari sisi mana pun. Mungkin ini yang membuat Qila jadi super posesif.
“Mau ngomong apaan sih Jun?” Gue yang udah mulai gerah dengan situasi macam ini langsung bertanya to the point pada Ajun.
“Gue minta maaf soal Qila”
“Udah gue maafin”
Ajun menghela nafas, “Lo sebenci itu sama gue ya Yer?” pertanyaannya membuat gue cukup tersentak. Benci dalam artian apa maksudnya?
“Kenapa gue harus benci sama lo?” tanya gue balik. Ajun mendecak, melengos menghindari tatapan gue.
“Yer, waktu SMA—”
“Itu udah lama” sahut gue cepat, lagi-lagi di balas decakan oleh Ajun. Gue cuma malas untuk membahas hal sudah lama berlalu. Nggak perlu di ungkit karena udah basi.
“Yera.”
“Udah kan Jun? Gue masih banyak tugas” Gue langsung berbalik, ingin kembali masuk. Tapi suara Ajun membuat gue terpaksa untuk berhenti.
“Perasaan gue masih sama Yer”
-
Kata orang-orang gue itu suka denial, tapi menurut gue yang tau perasaan gue ya diri gue sendiri. Mereka nggak tau dan harusnya nggak perlu ikut campur. Soal masalah hati itu biar jadi urusan gue sendiri.
Bergabung dalam 1999 bukan berarti gue menjadi korban friendzone. Nggak, gue nggak naksir siapa-siapa. Gue nggak suka sama sahabat gue sendiri, termasuk Maraka. Kemarin gue cuma bercanda mau pacaran sama Maraka.
Tapi, siapa yang nggak baper kalau perlakukan Maraka manis banget?
Itu wajar, namanya juga cewek. Kadang suka baperan.
“Yer, lo udah makan?” Maraka lagi sibuk dengan lirik lagunya dan gitar di pangkuannya. Tapi masih sempat-sempatnya nanya gue udah makan apa belum. Cuma Maraka.
“Udah Ka”
“Hati lo?”
“Hah?” Gue mengerjap bingung, kadang gue kesel sama Maraka yang kalau ngomong selalu pakai intro dulu. Otak gue males mikir.
“Hati lo baik-baik aja?”
“Terakhir gue ke dokter sih cuma sakit diare” balas gue membuat Maraka terkekeh manis.
“Lo nanya ke gue soal inspirasi lagu demo yang lo dengerin kan?” Maraka menoleh sambil memainkan gitarnya. Gue cuma ngangguk, nunggu Maraka melanjutkan ucapannya.
“Lo. Lo inspirasi gue”
“Hah?”
Maraka tersenyum lebar. “Kisah lo menarik” katanya membuat gue mendelik kaget. Menarik dari sisi mananya?
“Nggak ngerti gue sama lo Ka” balas gue dengan gelengan lelah. Kisah gue nggak ada yang menarik. Flat kayak layar hp.
“Setiap orang punya kisah menarik dalam hidupnya Yer” Maraka memainkan kunci lagu love yourself milik Jb. “Termasuk lo, gue, Ajun.”
“Dery sama Lukas?”
Maraka mengangguk. “Mereka juga, cuma masih terkunci aja” katanya dan gue cuma mengangguk mengiyakan semua ucapan Maraka.
Iya, semua punya kisah menarik. Termasuk Dery.