“Gue nyesel Kas” Air mata gue kembali menetes dengan pandangan kosong menatap jendela studio. “Gue nyesel karena nggak mau ngakuin perasaan gue” kata gue melanjutkan dengan nafas tersenggal.“Yer.....,”
“Gue nyesel kenapa nggak nahan Dery buat jangan pergi ninggalin gue”
“Yera...,”
Gue makin terisak, “Gue nyesel, gue beneran nyesel Kas.”
“Yer, stop”
“GUE NYESEL LO TAU NGGAK SIH?!” Gue berteriak, membuat Lukas terdiam dan menatap gue dengan iba. “Gue sayang sama Dery” kata gue lirih.
“Gue tau, tapi ini semua bukan salah lo” Lukas menarik lengan gue, membawa tubuh gue yang udah lemah ini kepelukannya.
“Dery pasti pulang kan?”
“Iya, Dery pasti pulang. Dia udah janji buat pulang”
Seharusnya mendengar ucapan Lukas membuat gue sedikit lebih tenang. Tapi nyatanya malah makin membuat tangis gue pecah. Ketakutan gue lebih mendominasi, takut kehilangan orang yang gue sayang untuk yang kedua kalinya.
Tanpa Dery gue bisa apa?
“Yer, jangan nangis terus. Lo bisa pingsan lagi nanti” Lukas mengusap pundak gue menenangkan.
“Takut Kas”
“Dery nggak akan kenapa-kenapa Yer, percaya sama gue”
Gue mengangguk, ingin menpercayai ucapan Lukas. Tapi nyatanya logika gue terus berjalan, mengatakan semua tidak akan lagi sama. Dery tidak akan kembali lagi....., semua ucapan Lukas hanya sebagai penenang belaka.
Sampai suara bantingan pintu studio membuat gue tersentak dan membuka mata kaget menatap Maraka dan Ajun yang masuk dengan nafas terengah.
“LO NGAPAIN NANGIS ANJRIT?”
“Hah?”
“Yer, lo kenapa?”
“Gue kenapa?” Gue mengerjap bingung, menatap Maraka dan Ajun yang tiba-tiba datang dengan wajah panik.
“Lo anjrit yang kenapa? Molor dari selesai manggung sampai sekarang panitia udah mau pada balik.” balas Ajun agak kesal sepertinya, “Mana tidur sambil nangis, lo mimpi apaan sih?”
“HAH?”
“Dih, temen lo jadi makin goblok abis jadi putri tidur Ka”
Maraka hanya terkekeh sambil memberikan botol minuman. “Minum dulu, lo kayak shock gitu” katanya.
“Gue mimpi......, dalam mimpi???” Gue mengerjap bingung, “DERY MANA?” pekik gue membuat Ajun dan Maraka terlonjak kaget. “DERY MANA ANJIR?!”
“Dery di—”
“DIMANA?”
“Apenih?” Gue langsung menoleh ketika melihat Dery masuk dengan membawa gitar milik Maraka.
“Der lo nggak jadi mati?” Pertanyaan bodoh yang keluar dari mulut gue membuat Dery menoleh dan mengumpat. “NGGAK! NGGAK! BUKAN GITU MAKSUD GUE TUH—AH ANJIR STRESS” kesal gue sambil mengacak-acak rambut.
“Kesambet setan kampus nih bocah” celetuk Ajun sambil bergidik ngeri.
“Lo pernah mimpi dalam mimpi nggak sih anyingggg” Gue menggeram frustasi membuat ketiga cowok di satu ruangan itu mengernyit bingung, “Gue abis mimpi buruk, terus dalam mimpi itu gue udah bangun TAUNYA GUE MASIH TIDUR SAMBIL MEWEK”
“Lo mimpi apaan?”
“Lo mati”
“ANJIR AMIT-AMIT!”
“Lo nggak jadi ke china?” Gue langsung mendongak menatap Dery yang masih berdiri di hadapan gue. “JAWAB CEPET!” kata gue membuat Dery terkekeh.
“Santai Yer, lo kayaknya beneran kesurupan deh” sahutan dari Ajun reflek membuat gue mengambil botol minum dan melempar ke arahnya.
“Lukas mana?” Gue menoleh, menatap ke segala arah mencari keberadaan Lukas. “Dia yang nenangin gue di mimpi, dia kemana dah?” tanya gue lagi.
“Nyebat di depan”
“Gue—” Ucapan gue terhenti begitu salah satu panitia pensi masuk ke ruangan memanggil semua anak band 1999.
“Kakak-kakak ke depan yuk, penutupan acara nih” Kita semua hanya mengangguk dan berjalan keluar setelah gue mencoba lebih tenang sedikit dari sebelumnya.
Gue sempat melirik Dery yang mengulum bibirnya ke dalam seperti sedang mengejak gue—nggak tau ini gue yang kepedeaan apa gimana. Tapi muka Dery ngeselin banget.
Makin ngeselin ketika dengan sengaja Dery merapat dan berbisik di telinga gue, “Lo mau jawab sekarang atau nunggu gue mati beneran?” dan dengan reflek gue mendelik dan memukul lengannya cukup keras.
Mulutnya sompral banget.
“Bocah malah pacaran. Cepetan anjir jalan!” teriak Ajun membuat gue terkejut lalu berjalan cepat menyusul—mau nampar mulutnya Ajun.
“Udah tau jawabannya?” Kepala gue dengan reflek menoleh, menemukan kedua mata indah milik Maraka.
“Jawaban apaan? Gue lagi nggak ulangan” balas gue mengelak dengan bodoh. Jelas gue tau apa yang di maksud oleh Maraka.
“Masih aja lo Yer!”
Gue mendecak pelan, “Lo cemburu ya Ka? Jujur sama gue sebelum lo nyesel nanti” kata gue mendramatis membuat Maraka terkekeh lucu.
“Yer—”
“Iya Ka, nggakpapa. Gue kan udah bilang, lo kalau suka sama gue ngomong aja” sahut gue makin melantur. Maraka sampai menggelengkan kepalanya lelah melihat tingkah gue.
“Lo mau tau satu rahasia?” Tanya Maraka yang membuat gue menaikan sebelah alis mata bingung.
“Apa?”
“Janji dulu, habis ini lo jujur sama perasaan lo sendiri”
Gue mendecak, melengos tidak ingin membalas ucapan Maraka. Tapi gue udah terlanjur penasaran tentang rahasia yang Maraka maksud.
Gue sendiri yang nggak tau, yang artinya tiga cowok dakjal ini tau. Pertemanan macam apa ini?
“Kok lo lama-lama ngeselin kayak Lukas?” Satu kalimat yang membuat Maraka terbahak. “Serius dulu dong anjrit” kesal gue sambil menepuk bahunya.
“Janji dulu”
“Iya elah, bawel lo!”
Maraka tersenyum, menatap gue sekilas lalu menoleh ke arah belakang. Perasaan gue udah mulai nggak enak ketika Maraka dengan sintingnya memanggil Dery.
Gue di kerjain.
Brengsek.
“Der, ada yang pengen tau satu rahasia” kata Maraka yang kemudian berlalu begitu saja meninggalkan gue dan Dery dalam suasana canggung ini.
Fak.
Gue rasa cuma gue yang merasakan kecanggungan ini padahal sedang berada di keramaian penutupan pensi.
Bye, sorak-sorak bergembira dari semua orang yang hadir. Gue cuma bisa mendengar detak jantung gue. Stop berdetak berlebihan di depan Dery, please.
Aneh banget.“Lo mau tau satu rahasia?”
Gue mengangguk cepat, “Apa?” tanya gue berharap Dery cepat memberitahu dan gue bisa langsung kabur dari situasi ini.
“Jadi pacar gue dulu”
HIHA akan ku ombang ambingkan perkapalan ini
KAMU SEDANG MEMBACA
1999
Roman pour AdolescentsShe love him and he love her but it wasn't that simple.