PART 10 : Jangan Lagi

807 213 40
                                    

Pergi ke Bandung gagal.

Gagal banget karena harus mengurus dua anak manusia yang nyusahin. Gue sekarang udah seperti mama mereka yang sedang mengomel karena anaknya berantem.

Capek.

“Sekalian aja lo berdua bawa pisau terus bunuh-bunuhan. Nanggung.” kata gue dengan sinis membuat Maraka merenggut merasa bersalah.

Ajun cuma diam sambil sesekali meringis karena sedang di obati Lukas. Sudut bibirnya luka karena tonjokan Maraka. Sama, Maraka juga tapi sudah selesai di obati Dery tadi.

Gue mendecak, akhirnya menghela nafas lelah dan duduk di samping Dery. Acara kabur dari Jakarta gagal total.

“Qila kok di rebutin” sindiran Lukas membuat Maraka dan Ajun mengumpat kompak. Gue tersenyum miris, melihatnya.
“Gue nggak ngerebutin Qila” Maraka menoleh, “Gue juga nggak suka sama Qila. Dia sendiri yang nyamperin gue waktu gue lagi me time di cafe” katanya melenjelaskan Membut Ajun mendecih.

Pusing.

Sore tadi Ajun bilang suka sama gue, tapi sekarang lagi berdebat sama Maraka karena tau ceweknya lagi jalan sama cowok lain.

“Emang genit tuh cewek”

Dery langsung menoleh, “Julid amat Yer” katanya sambil menoyor kepala gue. “Lo cemburu apa gimana?” tanyanya menyulut api.

“Gue agak nggak sudi kalau Maraka pacaran sama Qila”

“Gue juga” sahut Lukas menyetujui.

“Kesannya cewek gue bukan cewek baik-baik.” Ajun mendengus, merasa tersinggung.

Gue mendecak, memejamkan mata sambil bersandar di bahu Dery. Malam ini gue cuma mau istirahat, gue nggak mau banyak mengeluarkan energi karena berdebatan yang nggak mutu sekarang.

Tapi jujur, gue makin benci sama Qila.

“Balik aja Yer” Lukas mendekat, memberikan jaketnya. “Lo juga Der, ngantuk kan lo?” tanyanya. Dery hanya berdeham menanggapi pertanyaan Lukas.

“Besok latihan” Gue berdiri, mengembalikan jaket Lukas dan berjalan begitu saja keluar studio.

Langkah gue berat menuju parkiran dengan kepala pusing dan dada sesak. Air mata yang tadinya gue tahan mati-matian akhirnya luruh juga. Gue nangis lagi, di parkiran bersandar pada mobil Dery.

Tangis gue makin deras, membayangkan kemungkinan buruk yang mungkin akan terjadi. Marakan, Ajun, Dery bahkan Lukas, gue cuma nggak mau kejadian dulu terulang lagi.

Gue sayang mereka.

Lebih dari gue sayang diri sendiri.

“Adelia, sorry” gumam gue gemetar sambil melihat foto yang masih gue simpan di belakang case hp gue. Foto bahagia gue dan dia di masa SMA.

Foto kita menang lomba pensi.

“Yer?”

Tangan gue reflek mengusap air nata di pipi gue, kepala gue menoleh tersenyum tipis menatap Lukas.

Canggung.

“Nangis aja, gue temenin” katanya yang membuat gue terkekeh. Jarang banget lihat Lukas seserius ini.

Thanks Kas”

Lukas mengangguk, ikut berdiri bersandar di samping gue. Ia menghela nafas sepertinya juga merasa lelah dengan dua temannya yang baru saja adu tonjok tadi.

Agak lucu tapi terkadang perempuan memang membuat laki-laki buta.

Ajun contohnya.

“Lo tadi mau ke Bandung?” Pertanyaan Lukas membuat gue menoleh, “Maaf udah gagalin rencana lo, harusnya tadi gue tanganin sendiri” katanya dan gue terkekeh pelan.

“Santai, gue masih bisa ke Bandung kapan-kapan”

Lukas mengangguk, “Gue cuma basa basi”

“Brengsek” umpat gue sambil tertawa bersama Lukas.









-







“Ini maksudnya apa?” Gue mengernyit, menatap cowok di depan gue yang sedang menata banyak makanan di atas meja belajar gue.

“Tanda permintaan maaf”

Gue mendengus. “Ka—”

“Gue beneran nggak ngerebutin Qila, Yer” kata Maraka cepat menghentikan ucapan gue.

“Terus kenapa kalian berantem?” Pertanyaan gue membuat Maraka diam dan duduk di karpet bulu kesayangan gue. Malam ini, untuk pertama kalinya Maraka masuk ke kamar gue.

“Gue marah”

Kening gue mengernyit, “Kenapa?”

“Karena lo”

“HAH?”

Maraka mendecak, mengalihkan pandangannya. “Yer gue nggak mau lo di sakitin lagi.” jawab Maraka cukup membuat gue terkejut. Jadi, Maraka tau? Maraka tau selama ini gue cukup tersiksa.

“Gue nggakpapa....”

“Mending lo sama Dery aja”

Gue tertawa begitu saja mendengar ucapan Maraka. Bukan cuma Maraka yang mengatakan seperti itu, bahkan Kang Asep pendukung gue dan Dery garis keras.

Padahal gue maunya sama Maraka.

Nggak. Bercanda.

“Dery udah kayak abang gue” kata gue yang langsung di tertawakan Maraka. Ketawa meledek yang sedikit membuat gue kesal.

“Yer, lo masih punya gue” Maraka menatap dalam, “Lukas, Dery juga selalu ada di samping lo. Lo tinggal calling dan mereka akan selalu siap” katanya serius. Gue tersenyum dan mengangguk paham.

“Tapi kalian tetep kayak setan jahanam” balas gue dengan senyuman miring dan membuat Maraka mendengus lalu mengumpat pelan.

“Gue serius”

Gue mengangguk, “Hm, gue tau”












“Kalau gue bilang gue suka lo, lo percaya?”












“Percaya”


















Jeng jeng apani wkwk. I love maraka tapi kalau yera suka ya udah buat yera aja gpp aku bisa sama dery hehehe.

1999Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang