Tepat pukul delapan pagi gue kembali membaca satu lembar kertas milik Adel. Kertas yang sengaja ia tinggalkan agar bisa gue baca. Tulisannya yang rapi dengan beberapa bekas tetesan air mata membuat gue sempat ciut untuk memulai membaca rentetan kalimat disana.
Gue tersenyum tipis, memberikannya pada Ajun setelah kita selesai pulang dari tempat peristirahatan terakhir Adel. Ajun tadi datang membawa satu tangkai bunga mawar putih kesukaan Adel, ia tinggalkan disana dengan ribuan kata maaf.
“Punya Adel, lo aja yang simpen” kata gue membuat Ajun mengernyit. “Baca kalau lo udah sampai rumah” Gue melanjutkan yang di balas anggukan paham oleh Ajun.
“Makasih udah mau maafin gue Yer”
Gue tersenyum. “Setelah ini lo harus bahagia ya Jun”
“Lo juga, jangan lupa bahagia”
Gue menghela nafas, memutuskan untuk duduk di depan teras rumah gue. Ucapan gue kemarin benar-benar serius, meminta Dery untuk pulang lebih dulu meninggalkan gue. Sempat ada perdebatan hebat sebelum Dery memutuskan pulang.
Jika tidak ada Maraka dan Lukas mungkin gue dan Dery masih akan terus berdebat sampai kalimat-kalimat kotor keluar dengan reflek. Untungnya gue dan Dery masih bisa menahan itu.
Gue masih ingat jelas ucapan Dery subuh tadi. “GUE NANYA APA UNTUNGNYA LO KE TEMPAT ADEL?” teriakannya benar-benar membangunkan tidur Lukas dan Maraka.
“GUE MAU MINTA MAAF!”
“Udah gue bilang puluhan kali kalau lo nggak salah”
“Gue yang bikin Adel bunuh diri” Suara gue gemetar membalas ucapan Dery. Adel bunuh diri saat pensi di SMA menuju pertunjukan penutupan.
Adel memutuskan untuk mengakhiri hidupnya di gedung SMA. Terjun dengan rasa sakit yang bahkan tidak gue ketahui, lalu jatuh hilang bagai hembusan angin dingin di Bandung kala itu.
Semua teriak histeris, berlarian menunju tubuh Adel yang sudah berlumuran darah. Adel pergi tanpa pamit. Pergi dengan luka yang ia simpan sendiri. Malam itu gue kehilangan manager terbaik dan sahabat terbaik.
“Gimana Dery?”
Gue tersadar dari lamunan gue, menoleh menatap Ajun. “Apanya?” tanya gue tidak mengerti.
“Masih marah?” Pertanyaan Ajun membuat gue tersenyum tipis. “Baru pertama kali gue liat Ajun nyamperin gue pakai emosi. Asli, ngeri banget Yer” katanya cukup membuat gue terkekeh.
“Jun—”
“Gue tau, Dery mutusin buat ke China kan?”
“Iya,” Gue menggigit ujung bibir gue, tiba-tiba merasa resah. “Nggakpapa sih sebenarnya, masih ada lo sama yang lain juga” kata gue sambil tertawa.
“Kalau emang nggak bisa bilang nggak bisa Yer”
“Hm?”
“Bilang selagi masih ada orangnya, jangan sampai nyesel kayak gue”
Gue menghela nafas, berdiri dengan tiba-tiba membuat Ajun mendongak menatap gue.
“Ayo”
Ajun mengernyit, “Apa?”
“Pulang, lo masih anggota 1999 kalau lupa. Ada jadwal manggung yang nungguin kita” kata gue membuat Ajun tertawa dan berdiri sambil mengacak rambut gue.
“Ayo pulang”
-
Gue menenteng satu plastik indoapril setelah memutuskan untuk keluar membeli cemilan. Ajun mengantarkan gue sampai depan gerbang kos dengan selamat. Kaki gue melangkah dengan ringan hingga langkah gue terhenti mendadak ketika melihat Dery berdiri di depan gerbang.
Tatapannya tajam dengan rahang mengeras membuat gue diam-diam merasa takut.
“Dari mana lo?”
Dalam hati gue ingin mengumpati Dery, jika kita sedang dalam mode akur mungkin sekarang gue udah mengejek Dery bodoh karena sudah jelas-jelas gue membawa plastik bertulisan indoapril.
“Beli jajan”
Dery mendengus. “Seneng lo pulang bareng MANTAN GEBETAN?”
“Apaan sih?”
“Lo kalau emang mau pulang sama Ajun bilang aja, nggak usah pakai alasan marah sama gue”
Kening gue mengernyit, menatap Dery bingung juga emosi yang mulai terpancing lagi. “Lo kenapa sih?” suara gue mulai meninggi yang juga menyulut amarah Dery.
“LO YANG KENAPA?!”
“LO NGGAK JELAS ANJING!”
“YERANDA!” bentakan Dery membuat gue memejamkan mata rapat-rapat. Tangan gue terkepal menahan emosi juga air mata yang bisa saja menetes saat itu juga.
Helaan nafas Dery terdengar berat. “Mikir pakai otak! Lo habis di apain sama Ajun?! LO BISA MIKIR NGGAK?” Dery menatap gue marah, membuat gue membalas tatapannya tak kalah tajam.
“Lo yang harusnya mikir” Suara gue gemetar, “Lo yang harusnya mikir sekarang”
Dery diam, “Lo mikir nggak gimana perasaan gue waktu lo bilang mau pergi ke China? LO MIKIR NGGAK?!”
“Maksud lo apaan?”
Gue mendecih, “Lo pikir sendiri” kata gue sambil berjalan melewati Dery. “Lepasin gue” langkah gue terhenti ketika Dery menahan pergelangan tangan gue.
“Maksud lo apaan?”
“Lo yang minta gue buat ngomong sama bokap lo kan? Lo yang minta buat menggagalkan semua rencana bokap lo kan?” Gue menatap Dery tajam, “Bullshit!” kata gue sambil menepis tangan Dery.
“Yer—”
“Lo marah sama gue, lo bentak gue. Jelasin sekarang, kenapa lo marah sama gue?”
“Gue nggak mau lo—”
“Gue nggak mau lo sedih—itu kan yang mau lo bilang?” Gue mendecih, “Gue nggak perlu lo kasihani. Pergi Der, pergi sejauh lo mau. Gue nggak akan nahan lo lagi.” Gue menggigit ujung bibir sambil melangkah meninggalkan Dery yang terdiam di sana.
Dery aneh.
Dery membingungkan.
Otak gue mendadak kembali mengingat ucapan Lukas. Dery suka sama lo. Suka dalam bentuk apa? Pertemanan? Persahabatan? Keluarga?
Apa?
Dery susah di tebak.
Masih ada yang tim Yera Dery? Wkwk