Gravia Yeranda
Satu-satunya cewek di antara empat cowok sebenarnya tidak se-indah seperti yang orang-orang bilang. Gue selalu di jadikan alasan gebetan atau pacar mereka sebagai alasan kecemburuan dan berakhir mengenaskan alias putus. Gue sama sekali nggak ngerti, gue cuma diam. Gue nggak pernah aneh-aneh sampai minta jemput Ajun, Lukas atau Dery dan siapa pun itu saat mereka punya hubungan dengan cewek lain.
Sinting.
Gue lagi, gue lagi dan selalu gue.
“Qila cemburu sama lo” Ajun datang menyengir lebar sambil memainkan gitarnya. Gue cuma merespon seadanya berusaha fokus mendengarkan lagu demo buatan Maraka.
“Gimana ya Yer?”
Gue menoleh untuk beberapa saat, memperhatikan Ajun yang sangat terlihat. galau.
“Apanya?”
“Gue sama Qila”
Gue mendecak. “Ini hubungan lo berdua, nggak usah bawa-bawa gue” kata gue ketus. Sengaja, supaya Ajun tau kalau topik ini membuat gue nggak nyaman.
Tapi, apa yang harus gue harapkan dari seorang Arjuna yang tidak peka ini?
“Dia cemburu sama lo. Padahal udah gue kasih tau kalau lo cuma sahabat gue doang” Gue mempause lagu yang terputar, memutar badan menatap Ajun seutuhnya.
“Terus?”
“Dia ngancem minta putus kalau gue masih deket-deket sama lo”
Gue terkekeh. “Gih, sana. Jauh-jauh lo, males juga gue lama-lama liat muka lo” serius. Gue beneran udah males liat mukanya Ajun.
“Jangan gitu lah anjir” Ajun langsung meletakkan gitarnya. Sepertinya ada yang menelfon sampai ia harus berdiri mengambil hpnya yang ada saku celananya.
“Apaan anjir?” Gue mendelik kaget saat Ajun dengan bodohnya melempar hpnya ke arah gue. Untung gerak reflek gue bagus, langsung gue tangkap.
“Jawab.”
“Cewek lo njing.”
Ajun menghela nafas. “Gue udah muak. Lo aja yang ngomong” katanya seenak jidat. Padahal belum ada satu jam dia galau di studio ini.
“Nggak sudi” Gue lempar balik hpnya, beruntung mendarat di sofa. Sayang banget padahal gue berharap jatuh ke lantai sampai layarnya pecah.
“Gue nih lebih milih lo loh Yer” Gue melirik, melihat Ajun menggeser tombol merah. Anjir kacau.
“Gue nggak minta”
“Sialan.”
Gue terkekeh. Kembali dengan lagu ciptaan Maraka, bagus walau agak kotor liriknya. Gue curiga Maraka nulis lirik setelah menuntaskan ritual menonton netflix.
Astagfirullah Maraka.
Suara Ajun mulai hilang tidak terdengar, ia menoleh menatap Ajun yang sibuk dengan hpnya. Ibu jarinya bergerak cepat di layar hpnya. Pasti lagi debat sama pacarnya. Bingung mau milih Jokowi atau Prabowo.
Bercanda.
“Ini termasuk toxic relationship. Emang enggak pacaran sih, tapi sahabatan kayak gini tuh toxic Yer.”
Gue jadi teringat kata-kata Maraka waktu ngasih tau maksud dari lagu buatannya.
“Jun” Tangan Gue masih berada di atas mouse, menekan pelan saat kursor berada di lagu demo ke dua.
“Hm”
“Omongan lo di kantin tadi maksudnya apa?”
“Yang mana?” Gue membiarkan pertanyaan Ajun beberapa menit. Memikirkan ucapan Ajun yang mana yang mengganggu pikiran gue saat ini.
Sekarang sudah jam sebelah malam, waktunya otak gue istirahat. Tapi gue masih ada di studio dengan senang hati menemani kegalauan Arjuna.
“Bagian gue nggak boleh pacaran dulu”
“Yer, lo dimana?”
“Studio. Tapi udah mau balik sih, kenapa?” Gue merapikan meja sebelum pulang sambil sesekali melirik hp gue yang sengaja gue letakkan di atas sofa dengan speaker on.
“Sendiri?”
“Tadi sama Ajun tapi udah pulang duluan dia”
“Mantap, pulang sama gue. Gue lagi ada di deket studio”
Gue langsung menoleh, “Ngapain lo? Gue curiga, soalnya lo baik kalau ada mau doang” kata gue ke arah hp yang masih menyala.
“Suudzon lo. Entar mampir mekdi Yer, gue habis balik dari kosnya Lukas.”
“Lo aja yang mampir, beliin gue sekalian.”
“Sialan. Maksudnya berdua anjir.” Gue tertawa mendengar suara kesal dari sana. “Mau kagak nyet?” tanyanya lagi.
“Iya anjir bacot.”
“Tunggu di dalam aja”
“Hm. Hati-hati Der.”
-
Sekarang udah jam satu malam. Gue udah berniat setelah pulang dari studio langsung tidur. Tapi nyatanya Hendery datang menggagalkan rencana tidur awal gue dan berakhir nggak bisa tidur karena obrolan gue dan Dery di mekdi tadi.
Kalau udah masuk jam satu berarti jam gue buat overthinking. Kacau, gue besok ada kelas pagi dan sampai sekarang gue belum ngerasa ngantuk. Ucapan Dery tadi benar-benar menuhin seluruh otak gue.
“Hira ada chat lo?”
Gue yang lagi menikmati burger dan kentang goreng langsung mendongak bingung. Maksudnya Hira siapa? Hira temen kelas gue atau Hira dari fakultas lain?
“Hira siapa?”
“Temen kelas lo” Dan saat itu juga gue tau kalau selama ini Dery diam-diam mendekati Hira temen kelas gue yang gue kenalin ke dia dulu waktu nonton konsernya Raisa.
Gue nggak nyangka sih sampai sejauh ini hubungan mereka. Chatingan sampai keluar nonton bareng, yang artinya dalam tahap pendekatan.
“Enggak. Kenapa?”
Dery berdeham, membuat gue langsung fokus menatapnya. “Ya udah. Bagus deh.” katanya ambigu yang beneran ambigu sampai nggak bisa gue nalar.
“Ya udah apa maksud lo?”
“Ya, ya udah bagus” Gue diam, nggak mau mendesak Dery. Misterius, Dery itu misterius. Nggak bisa di tebak.
“Yer.” panggil dia setelah diam sepuluh menit. “Hira nembak gue tadi” ucapnya tanpa bismillah dulu. Gue yang lagi minum cola jadi kesedak bikin hidung gue perih.
“anjing lo.”
Dery cuma ketawa. Lucu kali.
“Gue bingung Yer”
Gue mendengus. “Apanya sih yang lo bingungin. Nggak ngerti gue.” Dery menghela nafas setelah ucapan gue selesai.
“Dia nembak tapi nuntut juga. Dia bilang suka sama gue, tapi bilang kalau dia nggak suka liat gue deket-deket lo. Bingung gue.”
Lagi.
Berasa dejavu.
Gue nggak banyak berekspresi membiarkan pernyataan Dery mengambang. Dan berlanjut menggigit burger di tangan gue. Beneran laper setelah mendengar cerita dari Dery.
Malam ini bertema kegalauan drummer dan gitaris 1999. Gue cuma berdoa semoga besok bukan giliran Maraka ataupun Lukas. Males.
“Gue nggak bisa jauhin lo Yer”
“Hm?”