Seorang remaja tengah berdiri menatap sebuah rumah minimalis yang terlihat indah dipandang mata. Tas ranselnya besar yang bergeger apik di punggung kecilnya. Ia meremat erat tali ranselnya. Menghembuskan napasnya beberapa kalo sebelum akhirnya tersenyum.
"Bu, Pian pergi ya. Pian bakal sering-sering kunjungi ibu. Pian janji, nanti disana Pian bakal nurut sama ayah. Walau Pian gak tau ayah masih inget kita apa enggak. Ah, pokoknya Pian bakal ke tempat ayah. Doain Pian ya, Bu. Dah ibu, Pian berangkat." Kata remaja itu sembari melambaikan tangannya pada rumah yang sepi di depannya.
Remaja itu, Alvian Putra Maharaga. Panggil saja Pian, anak yang baru saja di tinggal ibunya pergi seminggu lalu menghadap sang pencipta. Pian sedih? Tentu saja. Anak mana yang tak bersedih di tinggal pergi orang terkasih yang sialnya tak akan bisa bertemu selain amal dan kehendak Tuhan yang mempertunjukkan mereka di atas sana.
Pian berjalan keluar kompleks. Menunggu angkutan umum di depan kompleks, menaikinya hingga membawa tubuhnya menuju sebuah bandara.
Pian menunggu di salah satu kursi yang di sediakan. Tangan mungilnya membuka tas ranselnya mengambil roti yang ia simpan di bagian depan ranselnya. Pian hanya membawa tas ransel dan juga tas kecil tempat obat darurat. Pian menderita asma akut yang kemana-mana ia harus membawa inhaler. Pian juga tidak bisa terlalu lelah. Tapi, karena tubuh dan Suasana hatinya sedang bagus. Pian merasa yakin membawa beban berat di punggungnya. Pian terlalu malas membawa koper meskipun ia punya. Kalo kata Pian, selagi kaki dan tubuhnya masih kuat kenapa ia harus membawa koper yang membuat jalanan tambah berisik.
Pian mempercepat kunyahan pada roti yang ia pegang ketika telinganya mendengar pemberitahuan pesawat yang ia tuju akan segera lepas landas. Buru-buru Pian menyeret langkah kakinya dengan cepat. Tak peduli mulutnya yang masih penuh dengan roti hingga sulit mengunyah. Saat sampai di bagian pemeriksaan Pian langsung menyodorkan pasport dan tiketnya dengan mulut yang masih penuh dengan roti. Bahkan sebagian rotinya masih terlihat membuat penjaga itu terkekeh.
Pian dengan cepat mengambil pasport dan tiketnya kembali kemudian masuk ke bagian pesawat. Ia memberikan tiketnya ke pramugari yang sudah siaga berdiri di depan pintu. Pian langsung mencari tempat duduknya. Ternyata ia duduk di dekat seorang remaja atau mungkin seorang anak kuliahan. Tanpa banyak tanya dan banyak berpikir Pian langsung duduk di sebelah pria yang tengah asyik dengan ponselnya.
Pesawat belum lepas landas saja Pian sudah tertidur. Membuat pria di sebelahnya terkekeh melihat penumpang di sebelahnya.
"Dasar bocah!"
Untungnya Pian sudah jatuh ke alam mimpi. Jadi ia tak mendengar umpatan itu. Kalau kata Pian. Berhubung Pian takut naik pesawat sendiri jadi dia mending tidur saja. Daripada ia berkeringat dingin hingga membuat asmanya kambuh itu akan lebih merepotkan.
🍀🍀🍀🍀
Pian Bagun begitu ia merasa kebelet buang air kecil. Yang mengharuskannya bangun dari mimpi indahnya. Pian bangkit berdiri menuju toilet dan menuntaskan hasratnya. Pian lalu duduk kembali. Ia terdiam sejenak hingga perutnya berbunyi membuatnya malu setengah mati. Belum lagi mendengar kekehan dari pria yang duduk di sampingnya.
Pria itu menyodorkan Snack yang sedang ia makan. Dengan tidak tahu malunya Pian langsung mengambilnya. Tidak sungkan-sungkan ia bahkan memasukan kedua tangan kecilnya untuk mengambil Snack rasa jagung panggang yang tengah orang itu makan. Hingga tangannya penuh. Setelahnya Pian hanya menyengir begitu pria itu menatap ke arah snacknya dan Pian secara bergantian.
TBC.....
Mungkin segini dulu untuk permulaan. Jika kalian suka bisa tinggalkan jejak comen and vote.
Pay pay pay🍀
KAMU SEDANG MEMBACA
PIAN [END]
Teen FictionPian, bocah polos yang kadang ngeselin itu harus memilih, hidup sendiri atau pergi menghampiri ayahnya yang telah lama meninggalkannya dengan sang ibu. Ditambah lagi kemampuan ketajaman Indra yang dimilikinya. Bisa mendengar suara kipas berputar 240...