Chapter 24

3K 393 14
                                    

🍀🍀🍀🍀

Naga yang ada di pelukan Pian sedikit demi sedikit mulai tak nampak wujudnya. Berubah menjadi butiran debu yang bercahaya terbang ke langit gua kemudian menghilang terbawa angin.

Pian tersenyum sedu melihat ke arah langit-langit gua yang kembali menghitam. Seolah hal yang baru saja terjadi hanya iklan sejenak. YiZhan menatap iba ke arah Pian. Anak itu terduduk tanpa ada niatan bergerak keluar. Ia sudah mendapatkan beberapa keping sisik naga, dan itu sudah sangat cukup baginya.

YiZhan merasakan getaran di kakinya. Tanah yang ia pijak, terasa bergetar. Sial, makam ini akan hancur. Jika sang penjaga makam menghilang, makam ini juga akan ikut menghilang.

"Kita harus secepatnya keluar dari sini, cepat!" YiZhan berseru pada Pian yang masih terdiam memandang langit-langit gua.

Dengan gerakan cepat YiZhan  mengangkat tubuh Pian, mengangkatnya seolah ia adalah sekarung beras. Dan bergegas kembali menuju jalan tempat ia datang tadi.

Kesialan kembali terjadi ketika dingding gua itu menghilang, berubah menjadi tumpukan Bebatuan.

"Sial, kemana kita harus pergi?" tanya YiZhan kalut. Pasalnya serpihan tanah dsn bebatuan mulai berjatuhan. Waktu mereka tidak banyak.

"Kembali ke altar!"

Tanpa banyak berkata YiZhan berlari ke altar. Begitu sampai di tempat awal, YiZhan menurunkan Pian. Anak itu langsung berlari ke tengah altar, menghentak-hentakkan kakinya. Seolah sedang bermain.

"Apa yang kau lakukan? Kita harus keluar sekarang juga."

"Paman berisik, bantu aku kalau begitu. Cepat! Loncat-loncat"

"Lon-, Apa? Loncat? Kau tidak salah?"

Pian tak menjawab, membuat YiZhan mau tak mau mengikutinya. Melompat-lompat seperti anak kelinci. YiZhan pasrah setidaknya dalam hidupnya dia pernah melihat naga.

Krek. Suara batu yang bergeser itu membuat Pian dan YiZhan saling bertukar pandangan. YiZhan menunduk, menatap kakinya yang kini beberapa centi tenggelam diantara lantai batu altar. Lantai yang ia pijak adalah batu yang Pian cari, itu sebabnya ia menyuruh YiZhan untuk ikut melompat supaya lebih cepat menemukan batu pijakan itu.

Dengan secepat kilat Pian berlari ke arah YiZhan dan memeluk kakinya. Dalam sekejap mata mereka terjatuh ke bawah altar, jika tadi Pian terlambat, mungkin ia sudah tak bisa kembali pulang.

🍀🍀🍀🍀

Bara dan yang lainnya masih terus berjalan tanpa arah. Berharap di depan sana ada setitik cahaya petunjuk. Haus dahaga ditambah cacing-cacing di perut yang terus berdemo membuat mereka bergerak sangat lambat.

Bara berhenti sejenak, sekedar mengambil napas. Melihat ke arah temen-temennya yang sudah tidak bisa bertahan.

Ditengah keputusasaan itu, tanah yang mereka pijakki bergetar. Membuat mereka memasang posisi siaga. Bebatuan kecil mulai berjatuhan. Langit-langit gua diatas mereka mulai bergerak, retakan-retakan mulai terlihat. Bara mundur dengan perlahan diikuti yang lainnya. Sampai akhirnya dinding gua itu runtuh, bebatuan berjatuhan. Asap tebal menghalangi penglihatan mereka untuk melihat apa yang terjadi. Mereka terbatuk-batuk, sambil tangannya sibuk menghalau asap debu dari reruntuhan tanah. Dalam hati mereka berdoa semoga itu bukan hal yang menakutkan.

"Ayah."

Sebuah suara yang terdengar melengking dan sangat tak enak di dengar itu, membuat Bara membuka matanya. Berusaha melihat ke depan yang masih dipenuhi dengan sisa-sisa debu reruntuhan.

"Pian."

Bara sangat hapal suara itu, siapa lagi jika bukan, Pian. Anaknya yang menyeret mereka semua masuk ke dalam tempat antah berantah ini. Dengan cepat Bara berlari ke arah Pian. Memeluk dan menciumi anak itu. Bara merasa lega, seolah beban 100kg itu sudah diangkat dari punggungnya. YiZhan juga menghampiri kawannya yang hanya tersisa 3 orang. Ia sudah menduganya, tapi ia tak berharap orang yang selamat ada 3, padahal ia sudah pasrah jika hanya dirinya yang selamat.

Tapi rasanya perjalanan mereka belum selesai. Gua itu kembali bergetar, membuat mereka mau tak mau harus kembali bergerak.

"Kita harus secepatnya keluar dari sini, gua ini akan runtuh." ucap YiZhan yang diangguki semua orang.

"Lalu, bagaimana kita akan keluar, apa kau tau jalan?" tanya Bara. YiZhan menggeleng pelan. Mereka sudah menduga itu, tapi tak ingin saling menyalahkan. Karena ini bukan kesalahannya.

"Aku, aku tahu." Pian mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan berkata dengan semangat, seolah ia tahu jawaban yang diberikan gurunya. Semua mata melihat ke arah anak kecil dengan binar mata itu. Merasa payah pun percuma. Hanya ada mereka yang melihat kelemahan masing-masing.

"Cepatlah bocil, aku sudah lapar."  Bayu berucap dengan kesal. Mengahadapi makhluk mungil di depannya harus punya stok 1000 kesabaran.

"Ish, ayah, om Bayu nya nyebelin. Pian gak mau bawa pulang om Bayu, biarin aja disini. Biar dimakan singa."

"Sudah-sudah, Bayu kamu jangan ganggu anakku. Kau mau pulang atau tetep diam disini?" Bara menengahi pertengkaran yang tidak akan ada ujungnya. Jika dibiarkan berlanjut, mereka akan menjadi rempeyek karena tertimbun batu.

"Ayo ikutin Pian." Anak kecil itu, dengan lagak dengan  gagahnya berjalan duluan. Bara yang melihat itu, langsung sigap berjalan di sampingnya, yang lain mengikuti dari belakang.

Entah kemana arah tujuan mereka. Mereka hanya mengikuti Pian yang berjalan di depan, dengan sesekali dinding gua yang terasa bergetar, membuat mereka mempercepat pergerakan.

Berbelok-belok sesekali mereka menunduk menghindari dinding gua yang sempit, dan serpihan batu kecil yang berjatuhan. Tentunya itu tak menyulitkan Pian, dengan tubuhnya yang mungil ditambah dengan tubuhnya yang sudah sembuh, membuat staminanya menggebu-gebu.

Pian menghentikan langkahnya membuat yang lain menghentikan langkahnya juga. Menatap heran, hendak bertanya tapi tak berani, hingga teriakan Pian membuat mereka terkejut, tak dapat berpikir apa-apa. Insting mereka menyuruhnya untuk lari.

"Lari!" Teriak Pian yang langsung berlari secepat kilat. Bryan yang memang paling belakang menoleh dengan pelan dan ragu-ragu. Benar saja insting mereka yang menyuruh lari. Dibelakang sana, seekor kelabang besar sekitar 5m tengah merayap dengan cepat menuju arah mereka.

"Cicak," Bryan bahkan berteriak sangat keras tapi ia salah menyebutkan nama hewan itu. 

Mereka semua berlarian pontang-panting, sesekali menengok ke belakang. Bryan bisa saja mendahului di orang di depannya, kemampuan larinya tidak bisa diremehkan, tapi sayangnya di hadapannya itu seorang perempuan. Jelas saja jika Bryan mendahului perempuan yang jelas-jelas sedang kesulitan, mau ditaruh dimana harga dirinya yang begitu ia jaga.

"Man, lu lari buruan napa! Itu cicak udah mau Deket, gw masih punya harga diri soalnya, masa ngeduluin cewek sih. Kan, kagak lucu"

"Eh, rangginang, lu harusnya tau, lari cewek sama cowok itu beda. Sekali cowok ngelangkah itu, cewek udah tiga kali ngelangkah. Ngalah dikit Napa, anggap aja lagi lari santai dikejar anjing."

Keributan keduanya terdengar sampai depan, membuat orang yang di depan menggelengkan kepalanya, saat situasi genting seperti ini, masih sempat-sempatnya mereka bercanda.




TBC

Ciee, satu chap lagi end mweheheheh, boleh doang yang belum nengok stroy sebelah di tengok dulu.

Pay pay pay

PIAN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang