"Pian, maukah kau ikut denganku? Kembali ke kota." (Jujur aja, berasa ngetik adegan cowok mau lamar cewek wkwk)
Pian menoleh, menatap ke dalam mata Bara meminta penjelasan.
Mereka berdua masih menikmati mentari pagi. Sesekali angin membawa rambut mereka menari-nari. Ditambah kicauan burung yang menjadi melody.
"Tugasku sudah selesai disini. Lusa aku akan kembali ke kota asalku. Aku hanya bertanya. Apa kau mau ikut denganku? Entahlah aku hanya merasa begitu dekat dengan mu. Entah kenapa." Kata Bara. Pian diam mendengarkan tanpa ada niatan untuk bertanya. Jujur saja ia juga penasaran. Dan tak bisa dipungkiri berada di dekat Bara membuatnya merasakan kehadiran sosok Ayah.
"Dulu, aku punya seorang putra. Meskipun aku tak terlihat sudah berkeluarga. Tapi benar, aku sudah pernah menikah. Memiliki istri yang sempurna dan putra yang aku banggakan. Tapi, saat itu, semuanya lenyap. Istri dan anakku terlibat sebuah kecelakaan. Tak ada yang selamat. Saat itu aku sedang menerima tugas rahasia. Aku sangat menyesal. Bahkan di hari pemakaman mereka, aku tidak datang. Aku merasa malu dan benar-benar gagal membina keluarga. Kamu masih seorang anak yang butuh kasih sayang dan bimbingan. Jika kamu mengizinkan, izinkan aku menjadi ayah sambungmu. Izinkan aku memperlakukan kamu seperti anak kandung sendiri. Bisakah?"
Perkataan Bara sungguh tak Pian sangka. Ia kemari untuk mendapatkan kembali ayahnya. Tapi ternyata kenyataan sepahit ini. Tapi Tuhan sangat adil. Ia mengirim seseorang yang bersedia mengasuhku. Mengasihi, mendidik dan menyayangiku sebagai anaknya. Apakah boleh aku menerima nya? Pantaskah aku menerimanya.
"Apakah pantas aku menerima semua itu? Kita bahkan baru kenal beberapa hari. Kenapa kamu ingin aku jadi anakmu?"
Bara diam sejenak. "Aku ingin kamu menjadi anakku bukan karena aku merasa kasihan. Tapi jujur, entah kenapa aku selalu ingin bersamamu. Mungkin ini jawaban Tuhan atas doa-doa ku. Mungkin kamu tempat untuk menebus semua dosa-dosa yang telah kulakukan dulu."
Bara dengan ragu merangkul pundak Pian. Membawanya kedalam pelukannya.
"Aku seorang polisi. Akan ada saat dimana aku harus meninggalkanmu karena tugas. Sudah lama aku tak mengasuh anak. Mungkin akan terlihat kaku, tapi aku benar-benar tulus. Apakah kau mau menjadi anakku?"
Pian tak tau, kenapa ia malah menangis. Perkataan tulus bara membuat hatinya senang bukan main. Jika memang benar, Pian ingin menjadi anaknya. Melupakan semua kenangan buruk dengan keluarganya dulu.
"Hey, jangan menangis. Tak apa, jika kau tak ingin. Aku tak memaksa." Kata Bara sedikit panik melihat Pian menangis. Tapi respon yang ia dapat sungguh diluar dugaan.
Pian memeluknya, memeluknya dengan erat. Ia membisikkan sebuah kata yang membuat hatinya terguncang hebat.
"Ayah."
Kata yang sudah sangat lama ingin ia dengar. Bara balas memeluk Pian dengan erat. Mengucap syukur kepada tuhan yang mengabulkan doanya.
🍀🍀🍀🍀
Bara tengah sibuk membereskan pakaian Pian yang sebenarnya tak terlalu banyak itu. Rencananya sore nanti Pian akan ikut dengan Bara menuju markas. Dan tinggal disana sampai kapal penjemputan mereka tiba.
Pian duduk diatas ranjang kayunya. Menggoyangkan ponselnya kesana-kemari berharap sinyal akan menghampiri. Bara yang melihatnya tersenyum simpul. Melihat wajah yang sekarang menjadi anaknya itu tengah merajuk.
"Nih, handphone ayah ada sinyalnya. Pakai aja." Kata Bara menyodorkan ponselnya. Ia tak tega melihat Pian melamun bosan. Dengan senang hati Pian langsung menerimanya. Ia mengotak-atik sebentar ponsel ayah barunya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
PIAN [END]
Teen FictionPian, bocah polos yang kadang ngeselin itu harus memilih, hidup sendiri atau pergi menghampiri ayahnya yang telah lama meninggalkannya dengan sang ibu. Ditambah lagi kemampuan ketajaman Indra yang dimilikinya. Bisa mendengar suara kipas berputar 240...