Chapter 8

5.3K 709 14
                                    

Hay Hay hayu dah lama gak nulisss :3 masih ada yang baca kah? Xixixixi.

☘️☘️☘️

Badannya menggigil berusaha mencari kehangatan. Pian, dia tengah memeluk lututnya, meringkuk dengan bibir yang bergetar. Gigi yang terus bergemuruh. Asap tipis keluar dari mulut kecilnya. Peluh membasahi wajah dan lehernya. Pian kedinginan. Entah kenapa ia merasa sangat-sangat dingin. Padahal malam ini tidak hujan. Tidak ada angin pula yang bisa membuatnya dingin.

Bahkan malam-malam sebelumnya saat hujan tidak sampai sedingin ini. Ada apa dengan tubuhnya? Pian turun dari ranjang kayunya. Berusaha bergerak menuju kopernya. Mengobrak-abrik semua isi kopernya. Mengambil semua pakaian yang ada. Memakainya. Bahkan sudah hampir 10 pakaian yang ia kenakan. Tapi dingin itu masih terus menusuknya. Ia sudah seperti balon. Dengan baju yang berlapis-lapis itu.

Ditambah lagi hidungnya yang entah kenapa sangat sensitif dengan bau-bauan. Membuatnya tak bisa fokus bahkan untuk mengambil napas. Pian kembali merangkak ke ranjangnya. Berbaring diatas kasur tipis, berselimut kain lusuh. Berharap malam segera pergi, dan pagi segera datang. Berharap ia bisa melupakan semua rasa sakitnya.

🍀🍀🍀

Bara sudah siap dengan rantang berisi sarapan untuk ia antar ke gubuk Pian. Niatnya ia ingin berterima kasih untuk informasinya. Semalam mereka berhasil mengepung para penjahat itu, jika bukan karena informasi darinya. Mungkin mereka akan terus dibodohi.

Entah kenapa Bara merasa sangat akrab dengan anak itu, rasanya ia tak bisa berjauhan darinya.

Dengan senyum yang jarang ia perlihatkan itu, Bara keluar dari markas dan berjalan menuju gubuk Pian. Sesekali menyapa para penduduk. Meskipun Bara termasuk orang yang ramah. Tapi tetap saja hari ini sepertinya banyak yang menatap heran dirinya. Bertanya-tanya apa yang telah terjadi hingga membuatnya seperti itu.

Bara sampai di depan gubuk Pian. Ia mengetuk agak keras pintu gubuk itu. Menunggu sebentar, keningnya mengerut heran. Bara berpikir mungkin Pian sedang keluar. Tapi bahkan ini masih jam 6 pagi, dan disini matahari belum muncul sepenuhnya. Untuk apa ia keluar di pagi buta.

Bara kembali mengetuknya lebih keras.

"Pian, kau di dalam?" Apa mungkin dia masih tidur? Pikir Bara.

Dengan perlahan Bara membuka pintu gubuk yang ternyata tidak terkunci itu. Cahaya remang-remang dari lampu minyak yang menerangi gubuk itu.

Gumpalan bulat di atas ranjang itu, menjadi pertanda bahwa sang pemilik rumah masih menyelami alam mimpi. Bara tersenyum simpul. Ia menaruh rantang itu diatas meja. Kemudian mendekat ke arah Pian. Posisi tidur yang memunggungi itu membuat Bara penasaran dengan wajah Pian jika tertidur. Apakah jika ia menyentuhnya Pian akan terganggu?

Bara tak sengaja menyentuh pipi Pian yang tertutup rambutnya. Dingin. Matanya langsung terbelak kaget.

"Kenapa bisa sedingin ini?" Kata Bara sembari menyentuh wajah dan leher Pian. Terlihat dari bibirnya yang sudah membiru dan tubuhnya yang menggigil.

Buru-buru Bara naik ke atas ranjangnya. Membawa Pian kedalam pelukannya. Wajahnya ketara sekali ia panik. Apa yang dilakukan anak itu, kenapa tubuhnya bisa sedingin ini.

"Pian, Pian." Bara mencoba memanggil namanya.

Pian masih terpejam. Tapi mulutnya terus terbuka mencari udara.

"Dingin." Kata Pian dengan lirih.

Bara segera mendekapnya dengan erat. Berharap ia bisa memberi kehangatan. 10 menit Bara terus memeluk Pian. Tapi tubuh anak itu, masih saja dingin. Jika terus seperti ini akan berbahaya.

Bara melilitkan selimut ke tubuh Pian. Ia kemudian menggendongnya. Seperti ia tengah menggendong bayi, dipeluknya erat tubuh yang rapuh itu. Bara membawanya berlari keluar dari gubuk. Berlari menuju Padang rumput di puncak bukit. Berharap dengan berjemur di bawah sinar matahari bisa memberikan kehangatan.

Bara memangku Pian, duduk diatas sebuah batu. Sembari memandangi matahari yang perlahan muncul. Sinar matahari ternyata sangat berguna. Pian mulai mendapatkan kembali suhu tubuhnya. Hah, Bara bisa bernapas lega.

Pian mengerjapkan matanya, silau cahaya mentari menusuk penglihatannya. Suara angin masuk kedalam Indra pendengaran. Aroma bunga liar itu sungguh menenangkan. Pian menatap ke atas. Bara, kenapa ada dia disini.

"Dimana ini?" Tanya Pian. Bara menunduk. Membenarkan posisi Pian.

"Ah, ini di puncak bukit. Kau membuat jantungku hampir lepas. Bagaimana bisa kamu sangat dingin. Apa yang sudah kamu lakukan semalam?" Tanya Bara dengan khawatir.

Pian terdiam sejenak. Ah, ia baru ingat. Semalaman ia memang merasakan tubuhnya sedingin es.

"Aku tidak tahu." Jawab Pian. Matanya menatap hamparan hijau sejauh mata memandang. Bara menatap ke arah Pian. Banyak pertanyaan yang ia ingin tanyakan. Tapi tak ada satupun yang keluar.

"Berjemurlah Di sini, setelah kamu merasa hangat. Kita turun."

Tak ada jawaban dari Pian. Ia tanpa sadar, merasa nyaman dengan kepalanya yang bersandar di dada Bara. Rasanya mendengar detak jantungnya seperti mendengar melodi pengantar tidur. Tanpa sadar mata Pian kembali terlelap. Ah, ini baru tidur yang sesungguhnya.

Bara juga sadar. Mungkin semalaman Pian tak bisa tidur dengan tenang. Jadi ia membiarkannya seperti itu, lagipula karena bantuannya. Ia mendapatkan jatah libur. Dan karena tugasnya sudah selesai, ia bisa kembali ke kota asalnya. Ah, entah kenapa ia tak rela berpisah dengan anak yang sedang tertidur dengan tenang di pelukannya. Ia merasa merindukan, merindukan seseorang yang selalu mengisi kekosongan dihatinya.

TBC....

Halooo, mohon maaf kalau masih banyak typo dan kesalahan kata. Ini sistem, nulis langsung publish. Gak aku cek ulang. Takut ide ilang wkwkwk.

Pay pay pay :3

PIAN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang