Setelah hampir 4 jam mengudara. Pian sampai di bandara. Pian membawa langkahnya keluar dari bandara setelah tadi ia mengambil barang-barangnya. Banyak taksi yang sedang menawarkan tumpangan. Pian yang memang akan menuju ke terminal Bu, pergi menghampiri salah satu pria tuan yang sepertinya belum mendapatkan penumpang itu.
"Pak ke terminal ya." Kata Pian.
"Oh, silahkan dek." saut Pria tua itu dengan ramah. Terlihat raut bahagia diwajahnya.
Pria itu menuntun Pian menuju taksinya. Ini bukan taksi yang berada di bawah naungan perusahaan. Tapi lebih seperti taksi online. Hanya saja memang bukan online Mungin bapaknya tidak terlalu paham dengan sistem online sekarang.
Pantas saja banyak yang menolak tawaran bapak ini, mungkin karena mereka pikir nanti harganya akan di mahalkan. Tapi kita tidak tau bukan, sebelum kita menaikinya.
Pria itu sangat ramah dan hangat. Ia selalu mengajak bicara Pian yang memang bosan.
"Sudah dari pagi bapak belum dapat penumpang. Gak tau kenapa pada nolak, padahal kan bapak juga tidak bakal buat jahat." curhat pria itu. Pian hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Adek ini mau ke terminal pasti mau ke tujuan lain? Bapak hanya menawarkan jika adek mau, bapak bisa antar sampai tujuan. Untuk harga bisa dibicarakan insyaallah bapak juga tidak akan menarik tarif diluar standar. Begini-begini juga bapak mantan supir taksi hanya saja sudah dipecat karena perusahaannya bangkrut. Tapi kalau adek tidak mau bapak juga tidak memaksa." tawar pria itu.
Pian berpikir sejenak. Bukan hal buruk, lagipula meskipun naik bis lebih murah, tapi ia pasti harus menunggu sampai bis itu penuh. Dan itu membosankan. Belum lagi jika bis itu ugal-ugalan, penuh sesak. Yang ada dia malah rugi, bisa-bisa asmanya kambuh dan membuatnya repot.
"Yaudah boleh deh pak, antar saya ke pelabuhan ya pak."
"Siap!"
Setelahnya tidak ada percakapan, karena jujur badannya saat ini terasa remuk. Ia tidak ingin membuang tenaga hanya untuk berbicara. 2 jam berlalu, Pian berdiri menatap hamparan lautan luas yang membentang tanpa batas. Senja sudah mulai tampak. Pian ingin cepat-cepat sampai. Ia tak ingin berlama-lama disini apalagi angin laut yang menjadi lawan baginya.
Pian menaiki salah satu perahu disana. Perahu yang akan membawanya ke pulau di sebrang sana yang hanya tampah seperti gumpalan hijau dari mata memandang.
Pian melirik jamnya. 16.59 sudah hampir jam 5. Pian merapatkan jaketnya. Sungguh ini sangat dingin. Pian menurunkan barang bawaannya dari kapal, membayar biaya sewa kapal hanya 45 menit untuk menyebrang dari pinggir kota menuju pulau yang ia tuju.
Di sana ada tentara yang berjaga. Mereka memang tak membawa senjata tapi siapa yang tau. Pian menghampiri tentara itu,
"Permisi."
"Ya? Ada yang bisa kami bantu?"
Pian gugup ditatap seperti itu. Tapi mana mungkin ia balik ke kota. Ia sudah sejauh ini.
"Hei." seru tentara itu membuyarkan lamunan Pian.
"E-eh, iya. Saya cari Dimas Maharaga." kata Pian setengah gugup.
"Owh, cari kapten. Yaudah yuk, saya antar." ucap tentara itu. Pian mengikutinya dari belakang dengan segala pikiran yang mulai bermunculan.
🍀🍀🍀🍀
Pian mengikuti tentara itu, ah, rasanya tubuhnya sudah benar-benar tidak kuat lagi. Haah, rasanya ia bisa terjatuh kapan saja. Setelah berjalan kembali tentara itu berhenti di sebuah rumah dari kayu.
"Kapten! Ada yang cari." teriak tentara itu.
Mata pian langsung tertuju ke arah seorang tentara yang terlihat gagah. Seketika waktu seolah berhenti. Pian tidak yakin kalau itu ayahnya, ya maafkan dia yang lupa akan wajah orang tuanya sendiri.
"Ayah!"
Teriakkan seorang anak kecil yang baru saja melewati Pian dan berlari ke arah tentara yang mungkin ayahnya itu. Terntata itu merentangkan tangannya, menyambut hangat sang anak yang tengah berlari.
Apa-apaan ini? Sungguh bukan drama seperti ini yang ingin Pian lihat. Ugh melihatnya saja membuat hatinya teremas. Apa ayahnya sudah menikah lagi?
Pian langsung berbalik badan dan berlari sekencang-kencangnya. Tak memperdulikan teriakan tentara di belakangnya. Pian sendiri bingung kenapa ia harus berlari, begitu banyak opini-opini yang kini bermunculan. Pian tidak tau mana yang benar dan yang salah. Apakah jalan yang ia ambil ini salah? Ah, Pian tidak tahu. Bunda, bantu Pian.
🍀🍀🍀🍀
Seorang tentara yang masih keliatan gagah berani walaupun umurnya udah bukan dikatakan muda lagi. Pria itu menoleh ketika mendengar suara temannya memanggil namanya. Ia tidak menyadari ada seseorang yang berdiri di belakang tentara itu. Karena suara seorang anak kecil menghampiri telinganya. Pria itu mengangkat anak kecil yang tadi berlari ke arahnya. Mencium pipi gembulnya, sebelum akhirnya suara temannya itu terdengar meneriaki seseorang. Barulah ia melihat, ada seorang anak disana, belum sempai ia melihat wajahnya. Anak itu sudah berlari menjauh. Ada desiran aneh di hatinya begitu melihat anak itu pergi.
Siapa anak itu? Kenapa aku seperti merindukannya.
TBC.......
Yahoooo Pian here, hehehe. Nanti Ganna up kalo gak lupa
Pay pay pay
KAMU SEDANG MEMBACA
PIAN [END]
Teen FictionPian, bocah polos yang kadang ngeselin itu harus memilih, hidup sendiri atau pergi menghampiri ayahnya yang telah lama meninggalkannya dengan sang ibu. Ditambah lagi kemampuan ketajaman Indra yang dimilikinya. Bisa mendengar suara kipas berputar 240...