Chapter 4

7.7K 886 24
                                    

Pian terduduk lesu di dalam rumah gubuk itu. Matanya menerawang ke arah sebuah jendela kecil yang menampilkan langit biru. Pian mengingat kembali percakapannya sebelumnya dengan sang ayah.

"Ah, tidak-tidak anak saya hanya dua."

Sakit. Pian berharap tak pernah mendengar kata-kata itu. Jika ayahnya yang menjadi satu-satunya keluarganya tak mengharapkan ia ada, kemana lagi ia harus mencari perlindungan.

Pian tidak percaya dengan semua takdir tuhan yang seolah mempermainkannya. Rasanya Pian mendapat angka dadu paling buruk jika nasib ini di tentukan oleh putaran dadu.

Pian mengambil segelas air kemudian menumpahkan semua air itu ke wajahnya. Setidaknya jika seperti ini Pian merasa lebih tenang.

Pian tidak perduli jika orang luar yang berbicara atau memakinya. Tapi jika itu orang dalam bahkan keluarga sendiri, rasanya begitu menyakitkan. Sampai-sampai Pian ingin menghilang dari dunia ini.

"Jika Tuhan tidak ingin aku hidup. Kenapa tuhan menciptakan aku untuk hadir di dunia ini. Kenapa?!" Pian frustasi. Ia sangat-sangat berada di titik dimana apa yang membuatnya ingin menyerah.

Satu hal yang tak pernah Pian ceritakan. Fakta bahwa ibunya mati karena kesalahannya. Ia, ibunya mati karena stress dan akhirnya memilih meneguk obat dengan dosis tinggi yang membuatnya overdosis. Bahkan neneknya saja tidak tahu jika ibunya bunuh diri. Bukan mati karena sakit.

Pian tidak pernah mengatakan hal ini pada siapapun. Mengingat memory ini saja sudah membuat hatinya hancur. Ditambah ketika ia mencari perlindungan dari sosok ayahnya, itu hanya membuat kepingan hatinya pecah hingga tak tersisa.

Melihat ibunya bunuh diri, ayah yang tidak menerimanya. Abang yang lebih memilih tidak peduli. Hah, sungguh lucu hidupnya.

"Hahahah." Sungguh lucu kehidupannya.

Pian berjalan keluar rumahnya. Menutup sebagian matanya dengan kupluk jaketnya. Berjalan dengan kepala tertunduk dan seperti orang mabuk. Pian berjalan mengikuti kakinya melangkah. Melewati kerumunan ibu-ibu yang tengah bergosip. Anak-anak yang berlarian seolah tak punya beban. Mendengar semua tawa yang membuat Pian iri.

Kakinya membawa dirinya melewati tempat yang sepi. Pian diam di tengah rimbunnya pepohonan yang mengelilingi dirinya. Sinar matahari yang menyorot langsung, seolah ia malaikat yang diturunkan tuhan. Pian melanjutkan langkahnya menuju sebuah sungai dengan air jernih tanpa keruh seolah suci tanpa dosa. Pian berdecih sebelum akhirnya membiarkan tubuhnya terendam air yang dingin itu. Menyisakan setengah tubuhnya, Pian duduk di tengah-tengah sungai yang tenang. Seolah ia tengah mengorbankan hidupnya, menjadikan dirinya tumbal.

"Jika kau ingin mati, sebaiknya kau tidak menyusahkan seseorang." Sebuah suara terdengar.

Pian membuka matanya yang tadinya tertutup. ia menoleh, seorang pemuda dengan perawakan tinggi, badan tegap, rambut panjang sebahu. Tatapan yang tajam namun juga lembut. Kumis tipis yang membuatnya menjadi pujaan para wanita. Waktu diantara mereka seolah berhenti ketika tatapan mereka beradu.

Seolah mata mereka tengah berbagi cerita, berbagi rindu yang tak pernah bertemu. Pria itu memutuskan kontak duluan. Pian kembali tersadar.

"Aku tidak peduli jika diriku mati. Tapi, aku tidak bisa jika seseorang mati. Dibenci oleh kehidupan, dipermainkan takdir. Fakta yang tak pernah terpikirkan. Apa lagi yang harus diperjuangkan untuk hidup. Tidak perlu mengurusi hidupku. Lagipula aku tak memintanya." Kata Pian.

Ia langsung bangkit dari 'semedi' nya. Menyeret langkahnya, membiarkan air menetes dari pakaiannya. Pria itu melihat ke arah Pian yang lambat Laun menghilang dari pandangannya. Menyisakan bekas air yang berjatuhan ke tanah. Tatapan matanya kosong, kata-kata yang dia ucapkan seolah sebuah senjata yang sedang menuju ke arahnya. Jika saja anak itu tidak pergi dan memilih melanjutkan ucapannya. Mungkin senjata itu sudah menembus jantungnya.

"Ah, ngapain gue pikirin juga. Mending ketemu ayah, pasti Agil seneng banget gue bawain oleh-oleh." Kata pria itu, yang tadinya hanya numpang lewat dan tak sengaja bertemu dengan anak yang menurutnya aneh. Membuat perjalanannya terhenti. Pria itu kembali melanjutkan langkahnya.

🍀🍀🍀🍀

Pian membawa langkahnya kembali berjalan, menghiraukan rasa dingin yang menusuk tubuhnya. Hingga tanpa sadar Pian sampai di sebuah Padang rumput. Dari atas sini Pian bisa melihat semuanya. Bahkan rumah-rumah menjadi terlihat sangat kecil. Pian duduk di atas rumput itu, tanpa sengaja matanya melihat ke arah Padang rumput yang di tumbuhi banyak daun Semanggi. Pian teringat sebuah cerita mitos dari mulut ke mulut. Entah itu benar hanya sekedar mitos atau fakta yang membuatnya seolah-olah tidak dipercayai.

Katanya, jika kita menemukan daun Semanggi yang berdaun 4 permohonan kita akan terwujud. Pian tersenyum simpul, setidaknya ia masih punya harapan. Pian mulai melihat-lihat berharap menemukan daun Semanggi berhelai 4. Walaupun rasanya sangat mustahil. Seperti ibarat kata "Mencari jarum di tumpukan jerami." Tapi setidaknya Pian mempunyai kegiatan, ia tidak akan melihat kemesraan ayah dan anak juga keluarga barunya. Yang hanya akan membuatnya tambah menderita.

Ngomong-ngomong, bagaimana dengan abangnya itu. Apakah ia sudah tau soal keluarga baru ayahnya? Apakah ia akan menerima Pian?





TBC.......

Hellowwww maapin lama xixixi, oh ya author buat GC nih, masih sepi. Buat yang mau gabung boleh banget. PC aja ke author (083820443813)

Pay pay pay

PIAN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang