Benar-benar kesambet setan rajin+ratu ide. Pengen nulis terus wkwkwkw semoga gak bosen yaw :3
🍀🍀🍀🍀
Kejadian Tak terduga itu membuat Bara diliputi rasa khawatir yang mendalam. Mereka sudah berada di pesawat. Tadinya Bara ingin membawa Pian ke Rumah sakit. Tapi jadwal penerbangan tidak bisa ia lewatkan begitu saja. Akhirnya ia hanya membawa Pian ke klinik terdekat. Perkataan dokter disana membuatnya bertambah risau. Apa yang sebenarnya terjadi dengan anaknya.
Sudah hampir 3 jam. Tapi mata itu terus terpejam. Bara tak ingin terjadi apa-apa dengan putranya. Ia tak mau kembali mengulang kesalahan yang sama.
Mata yang tertutup itu perlahan terbuka. Ia mengerjapkan matanya. Rasa pusing sangat terasa begitu ia membuka mata. Bara yang merasa ada pergerakan di sebelah langsung terbangun.
"Pian kau sudah bangun? Kau membuat ayah panik saja." Kata Bara dengan kelegaan luar biasa dari katanya.
"Haus." Kata Pian dengan lirih. Bara langsung mengambil air dan membantunya minum.
"Hei bocah, kau buat kami panik saja. Si Badai sampe ngamuk-ngamuk di klinik kayak orangan gila. Kapten sampai nangis bombay." Kata Bayu mendekat ke arah Pian. Pian tak menggubris perkataan Bayu. Telinganya malah mendengar suara. Seperti suara peluru yang baru di masukkan ke pistolnya. Pian tidak salah. Ia pernah mendengar suara ini di markas ayahnya ketika melihat beberapa orang melakukan pelatihan. Pian mencoba mempertajam pendengarannya. Benar tidak salah lagi.
Pian langsung memegang tangan ayahnya. Mencengkramnya dengan kuat. Bayu yang tadinya mengoceh bahkan langsung diam.
"Ada seseorang yang akan melakukan bunuh diri. Dikursi ke 6 sebelah kanan. Nomor kursi, A342. Cepat ayah, atau semua akan mati." Kata Pian dengan panik. Bara sebenarnya masih bingung dan tak percaya. Tapi ia kembali ingat dengan Pian yang memecahkan kasus di hutan.
Bara mengode Bayu dan rekannya. Untuk melakukan rencana. Brian selalu bisa membuat rencana dengan waktu yang sangat singkat. Hanya dengan gerakan tangan dan lirikan mata saja mereka sudah paham.
"Tunggu ayah disini. Jangan buat hal mencurigakan. Tetap diam." Kata Bara dengan tegas. Pian mengangguk.
Bara menatap kembali rekannya. Badai keluar dari kursinya. Berpura-pura hendak ke kamar mandi sambil melihat kearah tempat duduk yang Pian sebutkan. Setelah masuk ke kamar mandi, Badai langsung membuka ponselnya dan mengirim pesan melalui grup.
"Seorang wanita 25 tahun. Bermantel merah, rambut pendek. Terus memainkan jari dengan gelisah. Tas merah di samping tempat duduknya. Siaga 1."
Pian memfokuskan kembali pendengarannya. Tak disangka ia malah mencium bau dari bahan kimia yang ia yakini sebuah narkoba. Sepertinya wanita itu pecandu narkoba, ia ingin terlepas dari kecanduannya tapi tak bisa. Deru napas dan detak jantungnya menandakan ia tengah panik. Bahakan gerakan sepatunya bisa Pian dengar.
Pian mengambil ponsel ayahnya dengan tiba-tiba membuat Bara panik. Dengan cepat Pian menuliskan pesan.
"Dia pecandu narkoba. Ada 3 bungkus narkoba seberat 10grm di tasnya. Pistol yang ia gunakan ia sembunyikan dibawah kursi tempat ia duduk."
Pian mengembalikan ponsel ayahnya. Bara membaca sekilas, ia langsung menatap Pian meminta penjelasan.
"Ayah aku tau, tapi percaya padaku. Nanti saat dirumah aku akan menjelaskannya."
Bara tak banyak bertanya. Meskipun banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan. Tapi ini bukan saat yang tepat.
Kini giliran Brian yang maju, ia berjalan sambil membawa buah jeruk ditangannya. Dengan perhitungan yang tepat, buah itu jatuh tepat dibawah kursi sang target.
KAMU SEDANG MEMBACA
PIAN [END]
Teen FictionPian, bocah polos yang kadang ngeselin itu harus memilih, hidup sendiri atau pergi menghampiri ayahnya yang telah lama meninggalkannya dengan sang ibu. Ditambah lagi kemampuan ketajaman Indra yang dimilikinya. Bisa mendengar suara kipas berputar 240...