Karena aku cintahhh kalian, aku triple Up deh. Wkwkwkwkwkkw.
🍀🍀🍀🍀
Pagi ini terasa berbeda. Seolah kejadian semalam hanya sebuah iklan. Tak ada rasa gundah ataupun tatapan kasihan ketika Pian bergabung dimeja makan. Menu sederhana yang dibuat Bian tampak menggugah selera makan Pian. Bahkan ia sampai menambah 3x saking enak dan laparnya.
Ngomong-ngomong markas ini sebenarnya masih satu wilayah dengan kantor polisi. Lebih tepatnya ini seperti asrama bagi para polisi. Bukan berarti mereka tidak punya rumah. Karena kebanyakan angkatan Bara itu masih terbilang muda. Hampir tidak ada yang sudah berkeluarga. Meskipun tampak seperti asrama. Sebenarnya ini dibuat kubu, yah seperti geng dalam kelas. Dikelompokkan menurut tingkat kemampuan. Tapi jika masih junior mereka baru masuk ke wilayah asrama yang sebenarnya jika senior memang berkubu.
Kegiatan di asrama ini tak lebih dari, olahraga pagi. Sarapan, latihan tembak, membuat strategi, menganalisis dan bergantian berjaga.
Setelah selesai sarapan. Pian mengikuti Bara menuju tempat para polisi latihan. Kelompok Bara termasuk kelompok elite yang dimiliki kepolisian. Jasa mereka dalam menangani kasus tidak bisa dianggap remeh.
Pian hanya duduk dipinggir lapangan. Menatap beberapa polisi lainnya yang tengah latihan. Bosan hanya dengan melihat saja, Pian berjalan santai melihat-lihat suasana di sekitar. Kakinya berhenti begitu ia memasuki gedung, melihat sebentar sebelum berjalan entah kemana. Suara tembakkan langsung memasuki Indra pendengarannya. Pian refleks menutup telinganya.
Ia merogoh saku jaketnya. Mengambil kotak kecil yang berisi earphone mengedap suara yang baru saja diberikan Bara. Ketika memakainya memang tak semua suara kabur. Masih sangat terdengar tapi tidak terlalu parah.
Pian berjalan menuju ruangan dengan pintu kaca. Ia masuk ke dalam. Aula besar dengan beberapa orang yang tengah latihan menembak. Kacamata yang dipakai mereka sungguh terlihat keren. Posisinya yang berdiri bak seorang model itu membuat Pian terpana.
Pian mendekati salah seorang penembak. Berdiri di belakangnya, memejamkan mata mendengar suara peluru yang keluar. Detak jantung dan napas orang yang ada di depannya sangat stabil dan cocok di telinganya.
Pria yang sedari tadi merasa ada yang memperhatikan menoleh, melihat seorang anak berdiri dibelakangnya. Bahkan melewati garis kuning yang terpasang. Bukan apa-apa, hanya saja garis kuning itu sebagai batasan untuk orang yang ingin melihat. Karena bagaimanapun ini adalah pistol senjata yang berbahaya.
"Apa yang kamu lakukan disini?" Tanya pria itu. Ia menyimpan pistolnya, melepas alat pengedap suara dan kacamatanya.
"Aku hanya melihat." Kata Pian dengan ambigu.
"Kau tau. Ini bukan tempat untuk anak-anak bermain."
"Aku bukan anak-anak. Aku bulan depan aku sudah dewasa." Kata Pian dengan kesal. Dia memang pendek, bukan berarti dia masih anak-anak. Lagipula bulan depan memang ulang tahunnya yang ke 17. Bukankah usia itu kita sudah dianggap dewasa.
"Dewasa? Berapa umurmu? Jangan menipuku. Bocah pendek sepertimu palingan hanya seorang bocah SMP." Kata pria itu mengejek.
"Aku sudah 16 tahun. Aku itu anak SMA. Bisa-bisanya pria dewasa menggoda anak-anak. Apa tidak malu?"
"Eh, bocah. Bisa juga kau. Ngomong-ngomong siapa yang membawamu ke sini? Ini bukan taman bermain."
Ah, Pian kesal dengan orang itu. Malas berdebat dengannya Pian lebih memilih pergi. Meninggalkan pria itu yang memanggil dirinya. Karena dirinya yang kurang hati-hati. Tak sengaja ia menubruk tubuh seseorang. Membuatnya terjatuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
PIAN [END]
Teen FictionPian, bocah polos yang kadang ngeselin itu harus memilih, hidup sendiri atau pergi menghampiri ayahnya yang telah lama meninggalkannya dengan sang ibu. Ditambah lagi kemampuan ketajaman Indra yang dimilikinya. Bisa mendengar suara kipas berputar 240...