Chapter 3

8.2K 945 26
                                    

Pian tidak pernah menyangka hidupnya akan seperti ini. Ditinggal pergi sang bunda. Dilupakan ayahnya. Ini bagai sebuah drama TV yang sering ibunya tonton.

Kini Pian sedang terduduk di atas kasur tipis di sebuah gubuk kecil. Disebelah rumah ayahnya. Sungguh miris kehidupannya. Dari apa yang ia lihat, ayahnya sudah memliki kebahagiaan sendiri. Dengan istri baru yang cantik dan seorang anak kecil. Sungguh seperti keluarga bahagia bukan? Sedangkan dirinya? Rasanya ia berharap ini hanya mimpi.

"Oke Pian, gak papa kalo ayah gak ngenalin kamu. Yang penting kamu masih bisa lihat dia dari jauh." Kata Pian sambil menunjuk dirinya sendiri di dalam cermin. Walau tak ayal, airmata juga ikut serta bersama senyuman.

Malam itu Pian hanya menangis semalam hingga tertidur, berharap esok hari ia akan kembali ke keluarganya yang utuh, damai dan bahagia.

🍀🍀🍀🍀

Pagi ini nyatanya tuhan tak mengabulkan doanya. Yang Pian lihat malah, drama di pagi hari yang menguras emosi. Seorang ibu yang tengah menjemur pakaian, seorang ayah yang tengah bermain dengan anaknya, sambil sesekali menyuapinya. Rasanya Pian ingin benar-benar menyerah dan menyalahkan Tuhan yang membuat hidupnya seperti ini. Tidak cukupkah Tuhan mengambil ibunya? Sekarang ayahnya juga sudah jauh dari jangkauannya. Apa yang harus Pian lakukan tuhan? Pian bingung.

"Nak Pian," panggil ibu itu. Pian langsung tersenyum dan menyingkirkan semua pikiran-pikiran yang berkeliaran di kepalanya.

"Iya Bu." jawab Pian sembari menghampiri ibu itu.

Ayahnya yang tengah menyuapi anak kecil juga ikut menoleh. Mata mereka bertemu cukup lama. Hingga suara ibu itu kembali menyapa Pian,

"Nak Pian, sudah sarapan? Kalau belum sini sarapan bareng. Agil juga lagi makan disuapi. Ibu masak ikan banyak, ayo sarapan bareng."

"Enggak usah Bu, saya nanti saja makannya. Belum lapar."

"Eh, gak boleh gitu. Makan itu harus tepat waktu biar gak sakit."

Ibu itu langsung menarik tangan Pian dan membawanya duduk di depan rumah yang sudah tersedia nasi dan lauk Pauknya. Pian duduk tepat di samping ayahnya. Membuta jantungnya berdegup tak karuan. Sang ibu tengah mengambil nasi dan lauknya untuk Pian. 

"Dimakan ya, ibu mau lanjut nyuci. Ibu tinggal ya."

Ibu itu pergi meninggalkan Pian dengan sejuta kegugupannya. Lama Pian hanya menatapi piring yang sudah terisi dengan nasi dan lauk pauknya.  Pian paling tidak bisa makan ikan. Setiap ia makan ikan sendiri pasti selalu berakhir dengan tertelan duri. Dan itu sangat, sangat menyebalkan. Pian mengendus kesal. Ia hanya menatapi makanan yang ada di hadapannya. Sampai suara ayahnya terdengar,

"Kenapa tidak dimakan? Apa kamu gak bisa makan ikan? Atau makanannya bukan selera kamu?"

Pian menggeleng dengan cepat. Tidak, bukan ia tidak suka hanya saja ya begitulah,

"Bukan-bukan. Aku suka. Hanya saja aku tidak tau, aku tidak bisa makan ikan. Karena aku selalu menelan durinya. Biasanya ibu yang menyuapiku setiap ia memasak ikan."

Dimas hanya mengangguk-angguk kepalanya. Kemudian ia menyuruh anak yang tadi di suapinya untuk membawa makanannya ke belakang entahlah Pian tidak tahu.

Tiba-tiba saja ayahnya mengambil alih piring yang ia pegang. Kemudian mengambil sedikit daging ikan yang disatukan dengan nasi. Pian menatap bingung.

"Sini saya suapin." kata Dimas. Pian langsung membuka mulutnya dengan ragu. Walau tak dapat di pungkiri, hati dan jantungnya seperti sedang berpesta.

"Kamu sama kayak anak saya kalau makan ikan, pasti disuapi." kata Dimas mulai bercerita. Pian berhenti mengunyah ia tengah berpikir banyak kemungkinan. Apakah ia yang sedang dibicarakan atau anak kecil tadi?

"Anak om yang tadi?"

Ah, entah mengapa rasanya agak aneh memanggil ayah sendiri dengan sebutan om.

Diman berhenti menyuapinya, memandang ke arah depan seolah tengah mengumpulkan memory.

"Anak saya yang lain." kata Dimas setelah beberapa saat ia hanya terdiam. Pian ingin mencoba menanyakan lebih dalam. Apakah benar ia yang dibicarakan? Jika ia Pian akan sangat senang.

"Anak om yang lain? Kakaknya anak tadi?" tanya Pian berpura-pura tidak tahu.

"Iya, kakaknya dia. Sekarang kakaknya sedang sekolah di sekolah militer. Katanya ingin menjadi tentara angkatan laut. Dia suka sekali berenang."

Rasanya ada sebuah batu besar yang jatuh tepat di dadanya membuatnya sesak. Bukan dirinya yang dibicarakan. Pian ingin berharap ini bohong. Ia ingin ini semua hanya mimpi. Tapi seperti Tuhan masih ingin bermain dengannya. Pian harus bagaimana?

"Ada satu lagi anak om. Dia juga paling tidak bisa makan ikan. Persis seperti kamu."

Rasanya Pian kini baru mendapatkan durian runtuh. Setelah tadi ia di jatuh dari angan yang ia buat.

"Terus anaknya sekarang kemana om? Kok saya belum lihat." Tanya Pian tak sabaran. Ia benar-benar ingin tahu jawabannya. Dan semoga kali ini Tuhan tidak bermain-main dengannya.






TBC....

Helowww lama gak up xixixixi. Maapin ya... Aku lagi sibuk banget. Dan akan ada projek yang bakal aku ikutin. Tapi aku usahain up.

Buat Ganna aku lagi gak ada ide XD

Dah segitu aja...

Pay pay

PIAN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang