Sudah tiga minggu berlalu, selama itu juga Jay tidak pernah bertemu lagi dengan Ila. Gadis itu seolah menghilang dari pandangannya. Serius, Jay sangat merindukan kehadiran gadis itu di hidupnya. Sekarang hidupnya jadi tak sebahagia dulu.
"Jay, lo gak apa-apa?" tanya Jake.
Mereka sedang berjalan di koridor dan hendak menuruni tangga. Namun saat melihat Jay yang berjalan dengan tatapan kosong, Jake jadi menghentikan langkah cowok itu karena merasa khawatir.
"Gue gak apa-apa." Bohong, bisa dilihat dengan jelas kalau Jay sedang tidak baik-baik saja.
Belakangan ini ada yang berubah dari sosok Jay. Jake sangat menyadarinya, apalagi mereka ini sangat dekat. Di mulai dari wajah, belakangan ini selalu terlihat kusut. Jay juga semakin kurus, terlihat pipinya yang semakin tirus hingga rahangnya yang terlihat semakin tegas.
Hari ini wajahnya terlihat pucat, auranya sangat suram. Jay jadi lebih pendiam tak mau bicara banyak seperti biasanya.
"Gue cuma... kangen Ilona. Mau sampe kapan kayak gini terus?" tanyanya pada Jake. Jake hanya balas menggeleng.
Siapa yang tega melihat sahabatnya seperti ini? Ketika sosok yang belakang ini terlihat bahagia tiba-tiba berubah menjadi sangat menyedihkan. Jake ingin melakukan sesuatu agar sahabatnya ini kembali ceria, tapi ia juga tak tau harus berbuat apa.
"Jake, gue duluan ya. Papi pasti udah nunggu." Jake terlonjak. Lalu menatap Jay yang melangkah menuruni tangga mendahuluinya.
"Hati-hati, jangan lupa bahagia, " gumam Jake, menatap nanar sosok Jay yang sudah menjauh.
Benar saja. Saat tiba di depan sekolahnya, Jay sudah melihat mobil sang Papi dan segera menghampiri. Jay segera masuk ke mobil, melihat Papi yang menatapnya tak enak.
"Kenapa lama? bukannya udah Papi bilang, selesai ujian langsung pulang! Papi selalu on time jemput kamu," sembur Papi. Jay hanya diam sambil menghela nafas panjangnya.
"Maaf."
Papi hanya berdehem lanjut menyalakan mesin mobilnya, melesat pergi untuk segera pulang ke rumah. Di perjalan hanya hening, Jay ragu tapi ingin sekali menanyakan sesuatu. Namun takut jika itu malah mengundang amarah Papi.
"Pi, boleh gak kalau dibatalin aja pindah sekolahnya? Abang gak mau sekolah di Amerika," ujar Jay akhirnya memberanikan diri.
"Gak bisa, Bang. Itu udah jadi resiko karena ulah kamu sendiri," tegas Papi.
Menyesal! Tapi juga tak ada gunanya. Tidak akan merubah segala keputusan yang sudah Papi buat. Jay harus berlapang dada menerima, mungkin memang ini yang terbaik untuknya juga masa depannya.
***
"Abang... kita boleh masuk gak?" Tak ada jawaban. Juan dan Daniel saling pandang merasa kecewa.Mereka merasa bersalah karena sudah membuat Jay kena marah Papi. Harusnya hari itu mereka tidak iseng dan menuruti apa kata Jay. Sekarang mereka sedang berdiri di depan kamar Jay, membawa banyak snack dan berniat untuk meminta maaf. Mereka juga merindukan sosok Abangnya yang belakangan ini susah ditemui karena lebih sering mengurung diri di kamarnya.
"Pintunya gak dikunci Juan, kita masuk aja yuk," jelas Daniel antusias saat memegang gagang pintu kamar Jay dan sedikit membukanya.
Juan mengangguk, mereka segera masuk dan menemui Jay yang sedang terduduk di meja belajarnya dengan kepala yang di tidurkan di atas meja.
"Abang... kita minta maaf ya, gara-gara kita lo jadi kena marah. Ini, kita bawain snack kesukaan lo. Akhir-akhir ini lo gak pernah ikut makan bareng di meja makan." Juan dan Daniel meletakkan snacknya di kasur Jay. Melihat Jay yang mulai menegakkan tubuh membuat mereka mengulas senyum.
![](https://img.wattpad.com/cover/240975047-288-k282178.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Similar (?) | Jay Enhypen✅
Fiksi Penggemar[Revisi] Terus..kalo dia mirip sama bias gue, gue harus terpesona gitu? Dia itu cowok super nyebelin yang pernah gue kenal