Part 10.

37 3 0
                                    

Diam-diam Alfan tersenyum tanpa sepengetahuan Tina yang tengah duduk di sampingnya, kini mereka berada di dalam mobil menuju ke tempat acara, namun selama di perjalanan Alfan terus saja mencuri pandang ke arah Tina yang tampak menawan dua kali lipat dari biasanya.

Alfan juga bahagia karena mamanya sudah membuatnya bisa mengabadikan kebersamaannya dengan Tina. Entah nanti mereka akan bersama atau tidak, setidaknya Alfan memiliki kenang-kenangan bersama cinta pertamanya itu.

Ya, kalau boleh jujur, Alfan berharap Tina bisa menyukainya, namun sepertinya itu cukup sulit mengingat hubungan pekerjaan di antara mereka. Rasanya hampir mustahil Tina dengannya bisa bersama dalam ikatan pernikahan, sedangkan asistennya itu terlalu profesional dalam bekerja.

Tina bahkan mau berpura-pura menjadi calon istrinya demi bisa mendapatkan uang darinya, semua yang wanita itu lakukan untuknya semata-mata untuk urusan pekerjaan, tidak ada perasaan yang menghubungkan cinta di hatinya.

"Kita sudah sampai ya, Pak?" tanya Tina setelah mendapati mobil yang ditumpanginya berhenti di depan sebuah gedung mewah.

"Iya. Kita sudah sampai. Oh iya, nanti di sana saya akan mengatakan bila kamu itu calon istri saya. Jadi tolong jangan terkejut apalagi marah-marah lagi ke saya!" Alfan berujar serius ke arah Tina yang tampak keheranan.

"Kenapa, Pak? Bukannya kita di sini cuma sebagai tamu di depan rekan kerja Anda ya?"

"Orang tua mereka itu rekan kerja orang tua saya, sedangkan saya sudah bilang ke Mama saya kalau kamu ikut, mana mungkin saya mengakui kamu sebagai asisten pribadi saya? Pulang-pulang saya bisa dicincang." Alfan menjawab dengan nada yang sama yang disenyumi oleh Tina.

"Ternyata Bapak ini punya takut juga ya?" Tina terkekeh kecil, melipatgandakan kecantikannya.

"Kamu pikir selama ini saya berani sama Mama saya? Bentak sedikit saja, saya bisa kehilangan nyawa saya." Alfan menjawab malas yang justru semakin membuat Tina terkekeh.

"Iya-iya, saya paham. Tapi kenapa Bapak tidak bilang sebelumnya kalau saya akan diaku sebagai calon istri Anda? Apa karena itu Bapak membelikan saya semua ini?" Tina melihat ke arah baju, tas, sepatu, yang dikenakannya.

"Iya, maaf." Alfan menjawab pasrah.

"Kenapa Bapak jadi minta maaf?"

"Ya karena saya sudah membohongi kamu, saya kan bilang kalau ini termasuk perjalanan bisnis."

"Sudah biasa Bapak buat saya kesal, saya sudah hampir kebal, apalagi saya sudah dandan seperti ini, mana mungkin saya mencak-mencak dan bilang kalau Bapak sudah menzalimi saya?" Tina menjawab seadanya yang kali ini membuat Alfan tersenyum kecil.

"Iya, kamu harus banyak-banyak sabar kalau sama saya. Karena saya tidak akan membiarkan kamu kabur dari saya, apalagi sampai membenci saya." Alfan menyunggingkan senyumnya, yang kali ini ditatap bingung oleh Tina.

"Memangnya kenapa, Pak?" tanya Tina terdengar penasaran, namun Alfan justru terdiam, matanya menyiratkan ketulusan, apa bisa ia bersikap lembut ke Tina, menyadarkannya akan cinta yang sudah tumbuh lama di hatinya.

"Nanti kamu juga akan tahu. Sudah, ayo keluar!" Alfan menjawab singkat lalu keluar dari mobil, meninggalkan Tina yang tampak keheranan dengan jawabannya.

***

Alfan menekuk lengannya untuk Tina gandeng saat keduanya sampai di tempat acara, Tina yang memahami hal itu hanya menghela nafas lalu menggandeng lengan Alfan dengan rasa terpaksa.

Sebenarnya Tina sendiri masih merasa penasaran, kenapa bosnya bisa berbicara hal itu, tentang ia yang tidak boleh pergi ataupun membencinya. Tina hanya merasa bila ucapan bosnya itu mengandung unsur makna yang harus ia ketahui, namun sepertinya bosnya itu tidak akan membiarkannya mengetahui kebenarannya.

Pura-pura Jadi Calon Istri Bos (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang