Sedan mahal yang terpoles warna silver itu sejak beberapa menit lalu telah menepi di area parkir kawasan supermarket besar di dekat tengah kota. Sang empunya sedari tadi tak kunjung keluar, sibuk menenangkan kepalanya yang berasap-asap dibarengi mulut kotornya yang mendumel tak karuan.
Jeno memandang nanar bagian dalam dompetnya yang sebenarnya cukup wow jika dilihat dari sudut pandang penduduk biasa. Memang, dompetnya berisi beragam kartu ini itu yang jelas tak akan dimengerti apa fungsinya oleh orang-orang yang terlahir hidup pas-pasan. Berlembar-lembar uang mulus dengan nominal tertinggi juga nampak menjejali dompet itu sampai kadang Jeno harus menguranginya agar tidak terlalu penuh.
Tapi Jeno pikir, sepertinya mulai saat ini ia akan bergabung menjadi bagian dari barisan penduduk sipil yang mempunyai tradisi menuntut kenaikan gaji setiap akhir bulan.
Dompet beserta isinya yang kini ditatap sendu itu memang bernilai tinggi, namun hanya itu lah satu-satunya harta yang saat ini Jeno miliki untuk mencukupi kehidupannya di hari esok hingga seterusnya. Tak hanya kehidupannya saja, tapi juga untuk memenuhi perut dan kejiwaan dua orang di rumah yang telah menjadi tanggung jawabnya sesudah menikah.
Jeno mendengus seraya memasukkan dompet kembali ke saku celana. Ia masih menggerutu soal ATM miliknya yang diblokir oleh sang ayah, mengingat isi ATM-nya bernilai ratusan kali lipat dari tumpukan uang di dompetnya saat ini. Ia tak dapat membayangkan bagaimana keuangannya akan menjadi sulit karena tabungannya telah dihanguskan cuma-cuma --lebih tepatnya dialihkan ke milik sang ayah yang kini sudah mengemban status kakek tua.
Jeno beranjak keluar, melangkah masuk ke dalam supermarket lalu berhenti di dekat barisan trolley. Diambilnya kertas dari saku kemeja, yakni memo panjang yang dititipkan Jaemin padanya siang lalu untuk mengecek apa barang yang harus diambilnya lebih dahulu.
Dengan tangan kiri menyeret keranjang, mula-mula Jeno memasukkan barang diinstruksikan Jaemin di dalam catatan tersebut, dimana kebutuhan bayi menjadi dominan.
"Yang terakhir... Keju, susu, ramen--" Jeno mendadak berhenti, mengernyit kaget melihat daftar di bagian akhir pada catatan itu. "Semuanya ramen? Dia menyuruh membeli ramen satu dus?!"
"Makanlah yang normal, Lee."
Bayang-bayang perkataan Haechan mendadak melintas mengiang di telinganya. Kode penting yang sempat Jeno acuhkan kemarin, ternyata telah mendapatkan satu titik terang.
Intinya, Haechan berpesan bahwa Jeno jangan sampai terlalu sering mengikuti pola makan tak normal Jaemin agar tidak kurang gizi.
*
*
*
Pria China itu sempat dibingungkan oleh kondisi sebagian tubuh Jaemin yang basah kuyup dengan rambutnya yang kumal. Dan Jaemin berulang kali membungkuk berterima kasih atas kemurahan hati Guanlin yang rela terikut bersimbah air akibat membantu membenarkan saluran air di kamar mandi. Guanlin pun tak mempermasalahkan Jaemin yang terus-menerus mengungkapkan rasa bersalah karena bukannya menyambut dengan teh, ia malah membuat Guanlin kerepotan.
"Gualin-shi, tadi katamu kau ingin melihat Jisung, kan? Masuklah,"Guanlin melongokkan kepalanya ke dalam kamar berukuran kecil tempat Jisung terlelap pulas, lalu mengikuti Jaemin ke dalam sana dengan langkah ragu-ragu.
"Benar tak apa?"
"Hum. Jeno tak akan peduli dengan ini." Ujar Jaemin, sembari mengambil sebuah handuk dari dalam lemari, kemudian memberikannya kepada Guanlin yang duduk di tepi ranjang di sebelah Jisung yang tertidur dengan deruan tenang. "Aku akan membuatkan teh. Tunggu sebentar--"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Sweetest Disaster (Nomin Remake)
FanfictionRemake story by @ohpurin on Wattpad Bagi Jeno, menikahi Jaemin adalah bencana. Namun hadirnya seorang anak membuat pernikahan mereka menjadi sebuah bencana termanis! NOMIN BXB ✔️ For mature content