Berbulan-bulan mencari cara, Syaila tahu ini sangat berisiko. Malam itu ia lagi-lagi melakukan hal yang sudah pasti akan membuat nyawanya terancam. Ia memang gila, tapi bagaimana lagi. Sisi kemanusiaannya terus memanggil dan Tuhan seperti menunjukkan ini hal yang benar. Terlihat dari keyakinan yang tak pernah pudar meski mencari jalan keluarnya saja sudah sulit, ditambah kesulitan untuk melakukannya akibat pengawasan yang sangat ketat.
Bahkan saat menyuntikan obat ke selang pasien pun, Syaila harus sambil berpura-pura menaikan ranjang. Segala dia lakukan dengan hati-hati, jangan sampai terlihat di CCTV.
Saat mengawasi pasien misterius itu, Syaila merasa ada sesuatu yang salah. Ia dekati perempuan itu dan memeriksa tangan juga kakinya. Tak ada yang aneh, digelitik pun masih belum merespon. Namun, saat memeriksa mata, Syaila kaget melihat bola mata yang bergerak. Dia sudah mulai peka terhadap cahaya. Artinya sudah mulai sadar.
Hal ini membuat Syaila semakin bersemangat. Meski begitu Syaila berusaha untuk tenang. Sedikit saja dia melakukan gerakan yang salah, akan terlihat di CCTV dan mungkin akan membuat penjaga curiga kepadanya. "Kamu sadar?" tanya Syaila.
"Iya," jawab perempuan itu pelan. Matanya tetap tertutup. "Bantu aku pergi dari sini. Suamiku pasti akan menolong," ucap wanita itu dengan suara pelan. Syaila memasukan tangannya ke jas dokter. Ia masih bersikap seolah hanya melihat wanita itu tanpa melakukan apa pun. Bahkan sengaja Syaila menunduk agar pergerakan mulutnya tak terlihat.
"Bagaimana bisa? Kaki dan tangamu masih belum merespon dengan baik," nasihat Syaila. Sangat beresiko membawa wanita itu pergi, gerak sedikit saja pasti petugas keamanan akan datang dan memberi peringatan. "Masalahnya kalau mereka curiga padaku, mereka pasti tak akan membiarkan aku ke sini lagi. Malah aku pikir, mereka akan melenyapkanku," jawab Syaila.
"Aku bisa bergerak. Aku hanya menahan diri. Kau hanya perlu beri jalan. Biar aku melakukan sendiri," jawabnya.
"Sejak kapan kamu bangun?"
Perempuan itu meneguk ludah. Mulutnya terasa kering. "Aku tak tahu. Sudah lama. Itu tak penting. Tolong aku!" pintanya memelas. Sepertinya dia merasa menderita berada di sini. Kalau memang yang merawat dia adalah keluarga, ia akan senang memberitahu jika ia sadar. Namu, wanita itu memilih menyembunyikan fakta. Artinya, dia tak ingin mereka tahu kalau dia sembuh.
"Kenapa kamu enggak mau mereka tahu kamu sadar?" tanya Syaila penasaran.
"Mereka ingin memanfaatkanku untuk keuntungan mereka sendiri dan aku tidak akan membiarkan itu terjadi," jelas wanita itu.
Di sana Syaila merasa bingung. Bagaimana caranya ia bisa meloloskan perempuan ini dengan keamanan yang ketat? Apalagi ruangan ini berada di lantai atas dan harus melewati banyak lorong menuju pintu keluar.
"Aku akan pikirkan caranya. Selama itu, bertahanlah," saran Syaila.
Detik, menit, jam, hari terus berlalu. Mereka masih menunggu kapan ide itu datang. Syaila selalu memperhatikan setiap detail dan kebiasaan petugas keamanan di sini. Dia masih berusaha mencari cela. Kadang Syaila melakukan simulasi dengan pura-pura meminta makanan atau minum pada suster penjaga. Tak berhasil, pergi membawakan Syaila makanan, mereka memilih menelpon petugas lain.
Hingga alam memberikan dukungannya sendiri. Saat pergantian Shift dan meninggalkan ruangan, Syaila sengaja mengecoh suster penjaga agar lupa mengunci pintu. Ia ajak mengobrol suster itu sebelum mengunci pintu, setelah suster mulai masuk ke dalam obrolan dan lupa akan pintu, Syaila ajak suster itu untuk melihat laporan di meja suster penjaga ruangan.
Rencananya perempuan itu akan kabur saat kosong akibat pergantian shift. Syaila pun tak akan dicurigai karena actingnya sangat alami. Malah jadi terkesan seolah susternya yang lalai. Nyatanya, terjadi sebuah insiden. Seseorang dengan gangguan jiwa menyerang dokter. Dia pun sempat menyerang keluarga pasien lain dan mengambil korek api dari saku pria itu. Wanita itu dikejar, tetapi masuk ke ruangan lain. Di sana ia ambil alkohol dan menyiram ranjang pasien. Korek ia nyalakan membuat ranjang itu mengeluarkan api yang besar dan merembet ke gorden lalu ke cairab alkohol lainnya.
Seisi rumah sakit panik. Alarm kebakaran menyala dan asap membungbung tinggi. Mendengar kericuhan di luar, perempuan itu turun dari tempat tidurnya. Ia berjalan mengendap dan memastikan sekitarnya kosong. Kini tangannya membuka pintu. Ia mengintip dari celah pintu. Meja suster penjaga kosong. Sepertinya mereka lari menuju tempat keributan untuk memastikan apa yang terjadi.
Wanita itu keluar, ia berjalan ke ujung lorong hingga di belokan lorong, ia lihat ada dua suster yang berlari ke sana. Lekas perempuan itu kembali, tak masuk dalam ruangan, tetapi mencari tempat persembunyian. Ada pot besar di sisi lorong yang cukup untuk menyembunyikannya. Karena panik, suster itu langsung masuk ke dalam ruangan.
Yakin posisinya aman setelah kedua suster masuk, perempuan itu meneruskan pelariannya. Kedua suster yang ada di dalam kaget melihat pasien tak ada di ruangan. Mereka lekas memberitahu bagian keamanan untuk mencari.
Kebakaran mulai bisa ditangani dan semua berangsur membaik. Justru perempuan itu merasa panik karena dengan begini ia akan mudah ditemukan. Terlihat beberapa perawat, dokter hingga petugas keamanan berlarian seperti mencari sesuatu. Sambil bersembunyi, perempuan itu masih mencoba mencari jalan keluar dengan melihat petunjuk jalan. Celana piyama yang kepanjangan menyapu lantai rumah sakit.
Tenaganya sudah hampir habis dan kakinya terasa sakit. Ia tak bisa menyerah begitu saja. Sayang, ia terlihat oleh seorang suster. Lekas ia berlari ke lift. Ada beberapa orang di sana dan lumayan bisa menyembunyikannya dari CCTV. Sayang liftnya mengarah ke lantai atas.
Di lantai ketujuh, ia malah ditemukan seorang penjaga. Lekas kembali menutup pintu lift dan turun di lantai teratas. Bingung akan lari ke mana, perempuan itu hanya mengikuti kata hati hingga tiba melihat pintu biru muda besar yang terbuka sedikit.
Begitu pintu itu dibuka, angin berembus dari sana. Ini rooftop. Sadar itu jalan buntu, tadinya ia ingin berbalik. Namun, melihat seorang wanita duduk di sisi tembok pembatas.
"Kamu siapa?" tanya perempuan itu.
Orang yang duduk di tembok berbalik. Perempuan itu tertegun. "Kak Elina!" Masih tersimpan dalam memori, wanita yang pernah ia tolong. Wanita malang yang diusir mertua dan suami hingga kehilangan anak. Tak tahu takdir apa yang membuat mereka bertemu di sini.
Melihat wajah milik orang yang ia kenali, lantas ia dekati. Langkahnya gemetaran akibat lelah. "Kak Elina kenapa di sini? Kak Elina bisa tolong Langit? Langit dikurung di sini. Langit harus pulang, pasti Biru nyari," jelas Langit dengan suara panik. Ia takut penjaga tahu ia lari ke sana dan keburu menyusul lalu menangkapnya. Langit tak mau terus ditahan, apalagi dimanfaatkan untuk menjatuhkan suaminya sendiri.
Elina masih diam menatapnya. Ia turunkan kaki perlahan. Sekali ia menengok ke bawah, banyak orang berlari mencari sesuatu. "Kak Elina?" tanya Langit bingung melihat tingkah aneh Elina.
Elina mendekati Langit. Ia tarik kerah piyama rumah sakit Langit. "Lepas!" titahnya.
Di sini Langit merasa bingung. Elina mengambil topinya yang tergeletak di lantai rumah sakit. "Lepas!" tegasnya lagi sambil terus menarik piyama Langit.
"Kenapa? Ada apa? Salahku apa? Aku hanya ingin meminta tolong," tegas Langit. Namun, Elina terus menarik-narik piyamanya.
🌱🌱🌱
KAMU SEDANG MEMBACA
Bride Of The Heir 2 (Season 2 Mr Tajir Jatuh Cinta)
RomanceSeason ke 2 Mr. tajir Jatuh cinta Apapun itu, aku akan terjang asal bisa bertemu dengan kamu lagi.